Business
Krisis Di Laut Merah Berdampak Ke Ekonomi Asia

SEMARANG (usmtv) – Dampak konflik di Laut Merah terhadap inflasi Asia diproyeksikan dapat meningkat hingga 0,4% tahun ini karena gangguan pada rantai pasok global dan aktivitas ekspor-impor Asia. Serangan Israel terhadap Palestina, yang terus berlanjut bahkan selama bulan suci Ramadan, telah mendorong kelompok Houthi di Yaman untuk melakukan blokade Laut Merah sebagai bentuk perlawanan. Kelompok tersebut menyerang kapal-kapal kargo yang hendak masuk ke Israel melalui Selat Bab El Mandeb, yang terletak di selatan Laut Merah. Dalam upaya solidaritas dengan Palestina, Houthi mempertahankan blokade laut tersebut sebagai respons atas tindakan genosida Israel. Akibatnya, pengiriman barang antarwilayah terganggu dan jalur logistik beralih ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan untuk mencapai Eropa.
The Economist Intelligence Unit (EIU) telah menerbitkan laporan berjudul “Dampak Gangguan di Laut Merah terhadap Asia,” yang mengkaji dampak gejolak di Laut Merah terhadap perekonomian Asia. Menurut laporan tersebut, sektor perdagangan adalah yang paling terpengaruh, dengan kinerja ekspor lebih terhambat dibandingkan dengan impor. EIU mencatat bahwa perdagangan peti kemas ke Asia mengalami penurunan hingga 85% sejak blokade Laut Merah pada November 2023. Pengalihan jalur perdagangan dari Terusan Suez melalui Laut Merah menjadi mengelilingi Benua Eropa telah menyebabkan peningkatan waktu dan biaya pengiriman. “Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan dan produsen di Asia mengenai stabilitas ekonomi saat situasi makroekonomi mulai kembali normal,” seperti yang dikutip dari laporan EIU pada Selasa (12/3/2024).
Meskipun demikian, kapal-kapal yang mengangkut barang impor ke sebagian besar negara Asia relatif tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan rute perdagangan. Ini disebabkan oleh fakta bahwa China merupakan sumber impor utama bagi negara-negara Asia, kecuali Sri Lanka yang lebih banyak mengimpor dari India, tetapi keduanya tidak terlalu terdampak oleh perubahan rute. Namun, peningkatan waktu tunggu impor terjadi di negara-negara seperti Jepang, India, dan Australia, yang berpotensi menyebabkan tekanan inflasi pada impor. Negara-negara yang sangat bergantung pada impor produk pangan, seperti di Pasifik seperti Fiji (di mana 60% perdagangan luar negerinya adalah pangan), Selandia Baru, Maladewa, India, dan Pakistan, merupakan yang paling rentan terhadap risiko ini.
Sementara itu, ekspor Asia akan mengalami dampak signifikan dari perubahan rute perdagangan tersebut, karena durasi pengiriman dan waktu tunggu kapal keluar meningkat. Negara-negara yang banyak mengekspor ke pasar barat seperti Eropa dan Amerika Serikat akan terkena dampak yang cukup besar. Dalam konteks ekspor, Bangladesh adalah pengecualian dengan waktu tinggal ekspor kurang dari dua hari. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Bangladesh mengkhususkan diri dalam ekspor produk tekstil yang tahan lama, tidak besar, dan mudah diangkut melalui udara. Namun, pengiriman udara jauh lebih mahal daripada pengiriman laut. Sebagai perbandingan, biaya pengiriman 1 kilogram barang dari Chittagong (kota terbesar kedua di Bangladesh) ke Eropa melalui laut kurang dari 30 sen AS, sedangkan melalui udara biayanya mencapai US$3,50. “Kami memperkirakan negara-negara seperti Bangladesh akan mengalami dampak yang signifikan karena produsen dan gudang akan memindahkan basis produksi mereka ke negara lain, seperti Indonesia, yang dapat mengurangi waktu tunggu sebesar 10 hari dalam jangka menengah,” demikian kutipan dari laporan EIU.
Manajemen pergudangan akan menjadi isu krusial dalam waktu mendatang. Para pedagang kemungkinan akan menunda pengiriman barang-barang yang tidak mudah rusak atau membutuhkan penyimpanan yang rumit karena lonjakan biaya pengiriman, sehingga infrastruktur pergudangan akan menghadapi tekanan yang signifikan. Seiring waktu, EIU memperkirakan bahwa ekspor juga dapat terpengaruh negatif karena dalam jangka menengah, importir kemungkinan akan menyimpan lebih banyak persediaan barang penting dan kebutuhan sehari-hari di gudang. “Dampak terbesar akan terasa pada kargo bernilai rendah, bervolume tinggi, dan barang-barang yang rentan rusak,” seperti yang dikutip dari EIU.

Risiko Tekanan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Asia
Meskipun EIU belum merilis data ekspor dan impor Asia per Januari 2024, lembaga tersebut telah mengantisipasi penurunan ekspor dan impor ke negara-negara Asia sebagai dampak dari blokade di Laut Merah. Tahun sebelumnya, kinerja ekspor Asia telah terpukul akibat melemahnya permintaan dari pasar barat. Eskalasi konflik di Laut Merah, yang dipicu oleh agresi Israel terhadap Palestina, berpotensi memperberat beban ekonomi yang sangat tergantung pada ekspor, terutama negara-negara Asia Tenggara yang telah merasakan tekanan dalam logistik perdagangan. “Meskipun China dapat memanfaatkan hubungan trans-Pasifiknya dengan Amerika Serikat dan memiliki pangsa perdagangan yang signifikan dengan negara-negara Asia lainnya, gangguan dalam perdagangan tercermin jelas melalui kenaikan biaya pengiriman dan penurunan permintaan dari pasar barat,” demikian kutipan dari laporan tersebut.
Menurut perkiraan lembaga riset tersebut, konflik di Laut Merah tidak akan segera mereda. Tekanan pada ekspor dan impor akan memiliki dampak signifikan pada perekonomian Asia, yang kemungkinan akan mengalami perlambatan pertumbuhan. EIU memperkirakan adanya koreksi pertumbuhan ekonomi Asia sebesar setidaknya 0,2% untuk tahun 2024. Bahkan, jika risiko yang terkait berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, penurunan tersebut dapat mencapai 0,5%. Inflasi di Asia tahun ini juga diproyeksikan akan meningkat sebesar 0,3%—0,4% karena beban yang lebih besar pada pasar dengan tingkat inflasi rendah, seperti China dan Jepang.
“Namun, inflasi yang lebih tinggi dapat menempatkan bank sentral di negara-negara seperti Filipina, Australia, dan India dalam situasi yang lebih sulit dalam mencari peluang untuk memulai pelonggaran moneter,” seperti yang dikutip dari laporan tersebut. Kinerja investasi juga dapat terpengaruh, karena produsen cenderung mencari opsi yang lebih dekat dengan pasar tujuan akhir daripada harus mengandalkan rantai pasok yang luas menuju pasar di Asia.