Nasional
Super Plan Jiwasraya: Rahasia Jatuhkan Eks-Raja Kekayaan RI!

Jakarta (usmnews) – Kejaksaan Agung menetapkan Isa Rachmatarwata, mantan Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu, sebagai tersangka kasus korupsi Super Plan Jiwasraya. Isa menarik perhatian publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutnya “orang terkaya di Indonesia”. Ia mengeluarkan pernyataan itu pada orientasi calon ASN Kemenkeu tanggal 17 Februari 2021.
Kejaksaan Agung menjerat Isa dalam kasus Super Plan Jiwasraya karena perannya sebagai Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK (2006–2012) dalam kasus ini. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan Jiwasraya mengalami krisis keuangan pada 2009. Krisis itu terjadi karena Jiwasraya gagal mencadangkan kewajiban kepada pemegang polis sebesar Rp 5,7 triliun. Menteri BUMN mengusulkan penambahan modal sebesar Rp 6 triliun. Namun, Menteri Keuangan menolak usulan itu. Ia menyebut risk based capital Jiwasraya mencapai minus 580%.
Direksi Jiwasraya, yaitu Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan, meluncurkan JS Saving Plan untuk menutupi kerugian. Produk itu menawarkan bunga antara 9% dan 13% yang melebihi suku bunga Bank Indonesia. Isa menyetujui pemasaran produk tersebut. Ia menerbitkan dua surat resmi meskipun mengetahui Jiwasraya dalam kondisi insolven.
JS Saving Plan menghasilkan Rp 47,8 triliun antara 2014 dan 2017. Jiwasraya menginvestasikan dana itu tanpa manajemen risiko yang memadai. Akibatnya, nilai portofolio menurun. Transaksi tidak wajar terjadi di saham seperti IIKP, SMRU, TRAM, LCGP, MYRX, SMBR, BJBR, dan PPRO. Audit BPK mencatat kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun.
Kejaksaan menjerat Isa dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 juncto pasal 18 UU Tipikor dan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pihak lain divonis dalam kasus ini. Heru Hidayat dan Benny Tjokro mendapat hukuman seumur hidup. Mahkamah Agung menguatkan hukuman 20 tahun penjara bagi mantan Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo setelah banding. Banyak ahli keuangan mengkritik keputusan ini karena merugikan negara dan menurunkan kepercayaan publik. Para peneliti dan ahli keuangan menyuarakan keprihatinan mereka atas dampak keputusan ini terhadap perekonomian nasional.