Tech
LBH dan Pusaka Sebut PSN Tebu di Merauke Rusak Wilayah Adat dan Picu Krisis Ekologi
Baca juga berita yang lain : Tech
Jakarta (usmnews) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) menyatakan bahwa proyek perkebunan tebu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, bukanlah solusi untuk mengatasi krisis pangan. Ketua LBH Papua Pos Merauke, Teddy Waku, mengungkapkan bahwa salah satu proyek strategis nasional (PSN) ini justru merusak wilayah adat dan ekosistem masyarakat asli Papua.
“Kami belum menemukan informasi, dokumen kajian sosial, dan kajian lingkungan hidup strategis pada proyek ini. Semestinya dilakukan sejak awal, sebelum dimulai,” kata Teddy melalui keterangan tertulis pada Selasa, 30 Juli 2024.
Menurut Teddy, ini bukan pertama kalinya tanah Papua dicaplok oleh pemerintah. Pada 2010, area yang sama pernah terdampak program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) besutan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ketika duka lama MIFEE belum selesai, negara kembali menambah derita baru lewat PSN tebu yang bakal menggerus lebih dari ratusan ribu hektare lahan di Kabupaten Merauke dan sekitarnya. Bukan kemakmuran bersama yang dirasakan, tetapi segudang persoalan baru,” ujarnya.
Proyek lumbung pangan negara ini dipayungi oleh Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023. Ada juga Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024 tentang pembentukan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, yang dipimpin oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Penolakan terhadap PSN perkebunan tebu ini semakin kuat dari sebagian masyarakat asli Merauke. Mereka memprotes hilangnya kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Proyek prioritas ini juga dianggap menghambat akses warga lokal ke sumber pangan.
“Masyarakat adat tereksklusi, (timbul) eksploitasi buruh, dan pemberian upah tidak layak,” ujar Teddy. Dia juga menyebutkan adanya deforestasi, malnutrisi, kerusakan ekosistem, hingga pencemaran air.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengatakan bahwa MIFEE saja sudah menggerus lahan seluas 1.588.651 hektare. Ada 38 perusahaan yang menggarap komoditi di lahan MIFEE, mulai dari kelapa sawit, tebu, jagung, dan tanaman industri lainnya.
“Penyimpanan dan dampak program MIFEE masih dikeluhkan masyarakat adat terdampak hingga saat ini,” ujar Franky.
Beberapa masyarakat asli yang masih menuntut keadilan adalah Suku Marind, serta buruh di Mam, Muting, dan Zanegi. Mereka juga meminta pemulihan hak korban kekerasan, janji perusahaan, dan upah layak.
Laporan Premium Tempo berjudul “Deforestasi Lumbung Pangan dan Lubang Tambang,” yang terbit pada 28 Juli 2024, juga mengulas dampak lingkungan PSN kebun tebu tersebut. Dalam tulisan yang menjadi bagian dari Edisi Khusus Majalah Tempo ihwal 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjamin pemerintah sudah melakukan segala mitigasi, verifikasi, dan evaluasi untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Namun, dia tidak memungkiri adanya eksternalitas negatif pada PSN. “Akibat proses penyiapan dan pembangunan proyek, termasuk potensi konflik lingkungan-sosial, juga dampak terhadap lingkungan,” kata Susiwijono kepada Tempo pada 22 Juli lalu.
Update terus berita terkini! Kunjungi halaman usmtv.id
Artikel mengenai LBH dan Pusaka Sebut PSN Tebu di Merauke Rusak Wilayah Adat dan Picu Krisis Ekologi dapat Anda temukan pada Tech dan di tulis oleh Azizah