Nasional
Strategi Holistik Kemendikdasmen Atasi Perundungan: Penerapan Konsep ‘Guru Wali’ dan Kompetensi Konseling Universal

Semarang(Usmnews)– Dikutip dari kompas.com Pihak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan bahwa fenomena perundungan (bullying) yang marak terjadi di lingkungan sekolah merupakan masalah kompleks yang tidak bisa disederhanakan hanya pada faktor kekurangan jumlah guru Bimbingan Konseling (BK). Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (GTKPG), Nunuk Suryani, menjelaskan bahwa perundungan dipicu oleh berbagai faktor multidimensi, salah satunya adalah kegagalan dalam menyalurkan ekspresi remaja yang kemudian berujung pada kenakalan. Oleh karena itu, pemerintah kini mengambil langkah strategis yang lebih holistik, tidak hanya sekadar menambah jumlah personel, tetapi mengubah sistem pendampingan siswa secara fundamental.

Implementasi Konsep “Guru Wali” dan Kompetensi Universal
Salah satu terobosan utama yang digagas pemerintah adalah penerapan konsep “Guru Wali”. Terinspirasi dari sistem dosen wali di perguruan tinggi, mekanisme ini menugaskan seorang guru untuk memegang tanggung jawab penuh atas sekelompok kecil siswa. Dengan rasio pendampingan yang lebih kecil dan intensif, Guru Wali diharapkan mampu mendeteksi perubahan perilaku atau masalah siswa sedini mungkin (deteksi dini). Hal ini memungkinkan intervensi dilakukan sebelum masalah berkembang menjadi tindakan kekerasan atau perundungan.
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menekankan sebuah paradigma baru di mana kemampuan bimbingan dan konseling wajib dimiliki oleh seluruh guru, bukan hanya mereka yang berstatus sebagai guru BK. Kebijakan ini bertujuan menciptakan lingkungan sekolah yang aman layaknya rumah kedua bagi siswa. Setiap guru dituntut untuk mampu memitigasi masalah, berdialog, mengenali potensi unik murid, serta berfungsi sebagai jembatan komunikasi yang efektif antara sekolah dan orang tua—sebuah aspek yang selama ini dinilai masih kurang optimal di banyak sekolah.
Penguatan Regulasi dan Pendekatan Humanis
Di sisi regulasi, pemerintah melakukan penyempurnaan aturan terkait pencegahan kekerasan, termasuk mengaktifkan kembali Satuan Tugas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas TPPK). Langkah ini diambil untuk memastikan adanya payung hukum dan prosedur operasional yang jelas dalam menangani kasus kekerasan di lingkungan pendidikan.

Lebih jauh lagi, Mendikdasmen menyoroti aspek budaya dan karakter. Perundungan sering kali menimpa siswa yang dianggap lebih lemah atau tidak berdaya. Untuk memutus rantai ini, diperlukan pendekatan pendidikan yang lebih humanis dan spiritual. Sekolah didorong untuk mengembangkan budaya saling menerima dan menghormati perbedaan antar sesama insan. Pendidikan tidak hanya soal akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritualitas untuk meredam agresivitas.
Sebagai langkah preventif berbasis komunitas, Abdul Mu’ti juga merencanakan pembentukan Duta Antikekerasan yang berasal dari kalangan pelajar itu sendiri. Para siswa ini akan berperan sebagai influencer positif bagi teman sebayanya. Strategi “dari siswa untuk siswa” ini diharapkan lebih efektif karena pendekatan peer-to-peer (antar teman) sering kali lebih mudah diterima dalam membangun hubungan yang terbuka, saling menghormati, dan inklusif di kalangan remaja.






