Education
Bertahan di Pekerjaan Bukan Karena Cinta, tapi Karena Takut
Jakarta (usmnews) – Banyak pekerja saat ini memilih bertahan di pekerjaannya bukan karena mencintainya, melainkan karena terjebak dalam fenomena job hugging. Mereka mempertahankan pekerjaan demi rasa aman, meski sudah kehilangan motivasi.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Dr. Putri Mega Desiana, menjelaskan bahwa job hugging adalah kecenderungan seseorang bertahan di pekerjaan karena merasa aman, bukan karena loyal atau puas terhadap pekerjaannya.
“Orang tetap bertahan bukan karena senang atau puas, tapi karena merasa harus. Mereka mungkin sudah tidak suka, sudah demotivasi, tapi tetap bertahan,” ujar Dr. Putri melalui pesan singkat, Selasa (23/9/2025).
Tiga Penyebab Job Hugging
Dr. Putri mengidentifikasi tiga penyebab utama job hugging:
- Perasaan tidak aman secara ekonomi
Pekerja menghadapi ketidakpastian ekonomi dan merasa harus tetap bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup. - Rasa tidak kompeten dan takut bersaing
Pekerja merasa tidak mampu bersaing di pasar kerja yang kompetitif dan ketat. - Putus asa dengan situasi kerja saat ini
Banyak pekerja kehilangan harapan untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik.
Job Hugging Hilangkan Stres Jangka Pendek, Tapi Timbulkan Burnout
Menurut Dr. Putri, job hugging bisa menghilangkan stres jangka pendek karena pekerja tidak perlu repot mencari pekerjaan baru. Namun, dalam jangka panjang, kondisi ini justru menimbulkan stres, ketidaknyamanan, stagnasi, bahkan burnout.
“Job hugging menghambat pengembangan diri. Orang tidak mencari keterampilan baru, merasa stuck, dan akhirnya kelelahan mental,” jelasnya.
Ia memperkirakan fenomena ini akan terus terjadi dalam dua hingga lima tahun ke depan, terutama karena disrupsi teknologi dan AI yang membuat pekerja makin berhati-hati dalam meninggalkan pekerjaan tetap. Ia menilai kondisi bisa membaik jika pemerintah menyediakan lapangan kerja yang lebih luas dan stabilitas ekonomi meningkat.
Dampak Job Hugging ke Perusahaan
Job hugging juga berdampak pada perusahaan. Dr. Putri menilai perusahaan yang tidak memiliki sistem evaluasi kinerja yang baik akan menanggung beban dari karyawan yang tidak produktif namun tetap bertahan.
“Kalau tidak ada mekanisme yang bisa memilah mana karyawan berkinerja baik dan mana yang tidak, maka perusahaan bisa terbebani oleh karyawan yang demotivasi,” ujarnya.
Meski begitu, tidak semua pekerja yang bertahan otomatis berkinerja buruk. Beberapa dari mereka justru sedang menyusun strategi untuk melangkah ke jenjang karier berikutnya.
“Bisa saja mereka menunda pindah karena ingin lebih siap secara mental dan finansial,” tambahnya.
Job Hugging Boleh, Asal Sadar dan Terencana
Dr. Putri menegaskan bahwa melakukan job hugging bukan masalah, asalkan pekerja menyadari bahwa ini hanya strategi bertahan, bukan solusi jangka panjang.
“Yang penting sadar. Gunakan waktu bertahan untuk mempersiapkan langkah keluar yang lebih sehat,” katanya.
Ia mengingatkan agar pekerja tidak bertahan tanpa rencana, karena hal ini bisa memicu stres kronis dan masalah kesehatan mental. Ia juga menyarankan agar pekerja mengubah mindset menjadi “stay, not stuck”, tetap mencari peluang baru, memperbarui CV, membangun jaringan, dan mengikuti pelatihan atau kursus untuk meningkatkan keterampilan.
“Bersyukur juga penting. Bukan pasrah, tapi sebagai cara menjaga semangat dan mental dalam menjalani hari-hari sambil menyiapkan masa depan yang lebih baik,” pungkasnya.