Connect with us

Nasional

Pakar Usul Reformasi Polri Diterapkan Radikal, DPR Dorong Kultural

Published

on

Jakarta, (USMNEWS),- Dikutip dari CNN Indonesia,Dorongan Reformasi Kultural Radikal di Tubuh PolriPakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, mendorong agar dilakukan reformasi kultur secara radikal di internal Polri. Tujuannya adalah memperbaiki budaya institusi agar lebih adaptif dan kreatif. Usulan ini disampaikannya dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan di Komisi III DPR pada Selasa (2/12).Suparji menjelaskan reformasi kultur radikal mencakup pembentukan kultur organisasi yang adaptif, tata kelola berbasis teknologi informasi, serta manajemen yang kreatif, sistemik, dan melayani.

Isu Struktural dan PengawasanSuparji juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Ia menekankan putusan ini harus dieksekusi dengan tegas, terutama untuk lembaga yang membutuhkan pertimbangan politik. Menurutnya, saat ini reformasi struktural bukanlah jawaban utama, melainkan fokus harus diletakkan pada perubahan kultur.Penguatan pengawasan terhadap Polri dinilai tak kalah penting. Suparji mengusulkan penguatan Kompolnas agar pengawasan eksternal menjadi lebih efektif dan mampu menimbulkan efek jera, bukan hanya sekadar sarana imunitas.

Ia ingin Polri menjadi institusi yang cerdas, bukan ‘superbody’ yang otoriter.Selain itu, ia menyoroti masalah pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Polri yang kurang memadai dari segi kualitas dan kuantitas, yang berdampak pada lambannya penanganan perkara karena kekurangan penyidik yang tersertifikasi.Pandangan Komisi III DPRSejalan dengan Suparji, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, juga menekankan bahwa reformasi Polri harus bersifat kultural, bukan struktural. Ia menilai akar masalah terbesar yang menciderai institusi Kepolisian selama ini terletak pada perilaku anggota, bukan pada kedudukan lembaga.

Habiburokhman mencontohkan beberapa kasus yang melibatkan perilaku anggota, seperti kasus meninggalnya tahanan Polres Palu yang ternyata akibat penganiayaan, kasus Ronald Tannur, dan lambannya penangkapan pelaku penganiayaan oleh pemilik toko roti di Jakarta Timur.Ia berpendapat bahwa kedudukan Polri langsung di bawah Presiden sudah tepat, sesuai amanat TAP MPR RI Tahun 2000. Demikian pula mekanisme pengangkatan Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR sudah sesuai sebagai implementasi pemisahan kekuasaan (trias politica Montesquieu).Habiburokhman menambahkan bahwa KUHAP baru akan memperkuat pengawasan terhadap kerja kepolisian, tidak hanya oleh lembaga, tetapi juga oleh masyarakat melalui penguatan hak warga negara dan advokat yang mendampingi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *