Connect with us

International

Upaya Merajut Asa di Tengah Reruntuhan: Pernikahan Massal 54 Pasangan di Gaza Sebagai Simbol Kebangkitan

Published

on

Semarang (usmnews) – Momen langka sekaligus mengharukan terjadi di Jalur Gaza, di mana sebanyak 54 pasangan Palestina melangsungkan upacara pernikahan massal. Perhelatan yang digelar di tengah lingkungan yang masih diselimuti bekas-bekas kehancuran perang ini tidak sekadar menjadi ritual sakral, namun lebih jauh, ia diartikan sebagai simbol ketahanan dan harapan yang kuat bagi warga Palestina di wilayah tersebut. Setelah melewati masa-masa kelam penuh tragedi, kematian, dan konflik berkepanjangan selama bertahun-tahun, acara yang dijuluki “Gaun Kebahagiaan” ini menjadi pernyataan tegas bahwa kehidupan harus terus berlanjut.

Acara pernikahan massal ini, yang diselenggarakan di area seperti Kota Hamad di Khan Younis, Gaza selatan, menarik perhatian ribuan warga Palestina yang datang untuk menyaksikan dan merayakan. Dalam balutan suasana yang sederhana namun penuh sukacita, 54 pasangan pengantin—mengenakan setelan jas bagi pria dan gaun adat bercorak Palestina bagi wanita—berjalan bergandengan tangan, seolah menapaki masa depan baru di atas puing-puing masa lalu. Peristiwa ini merupakan tradisi yang sempat hilang dan jarang dapat digelar di Gaza karena kondisi konflik yang tak berkesudahan, yang membuat banyak pasangan muda kesulitan secara finansial dan logistik untuk merayakan pernikahan secara mandiri.

Salah satu pasangan, Eman Hassan Lawwa dan Hikmat Lawwa, yang merupakan kerabat jauh, menjadi representasi dari ribuan kisah pilu dan harapan di Gaza. Mereka melangkah maju untuk menikah meskipun pernah menjadi pengungsi dan kini masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti air, makanan, dan—yang paling mendesak—tempat tinggal. Hikmat Lawwa, dengan nada lirih, mengungkapkan transformasi impiannya yang mencerminkan realitas pahit di Gaza: “Saya dulu bermimpi punya rumah dan pekerjaan. Sekarang, impian saya hanya menemukan tenda untuk berteduh.” Pengakuan ini menggarisbawahi betapa perayaan pernikahan ini diselenggarakan bukan dalam kondisi normal, melainkan sebagai sebuah aksi perlawanan budaya untuk menormalisasi kembali kehidupan di tengah krisis.

Meskipun perayaan ini dipenuhi sorak-sorai dan iringan musik yang membawa pasangan-pasangan tersebut menyusuri reruntuhan kota, momen duka tetap tak terhindarkan. Eman, yang mengenakan gaun pengantin adat berwarna putih, merah, dan hijau, tidak bisa menahan air mata di tengah perayaan. Ia merupakan salah satu dari banyak pengantin yang kehilangan anggota keluarga—ayah, ibu, dan beberapa kerabat—dalam perang. “Sulit merasakan bahagia ketika duka begitu besar,” katanya, namun menambahkan, “tapi Insya Allah, kami akan bangkit dan membangun kembali, batu demi batu.”

Inisiatif pernikahan massal ini sebagian besar difasilitasi oleh bantuan dan donasi internasional, yang menunjukkan solidaritas global terhadap pemuda-pemuda Gaza yang ingin melanjutkan hidup mereka. Dengan demikian, perhelatan 54 pasangan yang berani mengambil janji suci ini tidak hanya menandai bersatunya dua insan, tetapi juga menjadi titik tolak psikologis bagi masyarakat Gaza secara kolektif. Ini adalah penegasan bahwa identitas, budaya, dan keinginan untuk membangun garis keturunan serta masa depan yang lebih baik, akan terus berdetak kencang, bahkan di tanah yang paling bergejolak sekalipun. Ke-54 pernikahan ini menjadi pengingat yang kuat bahwa harapan untuk sebuah “kehidupan baru” selalu ada, meski harus dimulai dari reruntuhan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *