Nasional
Tinjauan Mendalam atas Usulan Revisi UU Guru dan Dosen: Mewujudkan Kesejahteraan dan Perlindungan Guru di Indonesia
Jakarta (usmnews) di kutip dari kompascom Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah mengambil langkah serius dalam meninjau kembali implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tinjauan ini merupakan respons terhadap berbagai isu krusial yang dihadapi oleh para pendidik di Indonesia, baik yang bertugas di sekolah swasta maupun sekolah negeri.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dan Anggota Baleg DPR, Sugiat Santoso, menegaskan bahwa revisi terhadap UU Guru dan Dosen ini sudah menjadi kebutuhan mendesak. Menurutnya, masalah yang membayangi profesi guru dan dosen sangat kompleks, mencakup isu fundamental seperti **kesejahteraan ekonomi** dan **perlindungan hukum** dalam menjalankan tugas profesional mereka.
### 💰 Isu Sentral Kesejahteraan: Upah Minimum untuk Mencegah Gaji Rendah
Salah satu sorotan utama yang diangkat oleh Sugiat Santoso adalah kondisi kesejahteraan guru, terutama yang bekerja di institusi swasta dan guru honorer di sekolah negeri. Sugiat memaparkan bahwa guru-guru yang mengabdi di sekolah swasta sering kali tidak memiliki standar gaji pokok yang jelas. Kompensasi yang mereka terima sangat bergantung pada kebijakan internal dan kemampuan finansial dari yayasan tempat mereka bernaung, yang seringkali dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar atau jam berdiri di kelas.
Situasi yang lebih memprihatinkan juga terjadi pada guru-guru yang berstatus honorer di sekolah-sekolah negeri. Dalam keterangannya, Sugiat mengungkapkan fakta bahwa banyak guru honorer yang hanya menerima upah sangat minim, berkisar antara **Rp 300 ribu hingga Rp 600 ribu per bulan**. Jumlah ini sangat jauh dari kata layak dan seringkali disesuaikan dengan ketersediaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima oleh sekolah.
Menyikapi permasalahan upah yang sangat rendah ini, Sugiat Santoso mengusulkan sebuah mekanisme yang revolusioner dalam revisi UU Guru dan Dosen, yaitu penetapan **Upah Minimum** bagi guru. Konsepnya dianalogikan dengan penetapan Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku bagi pekerja di sektor perusahaan. Dengan adanya ketentuan upah minimum yang dijamin oleh negara ini, diharapkan tidak ada lagi kasus guru digaji sangat rendah, yang tidak mencerminkan nilai profesionalisme dan kontribusi mereka terhadap pendidikan bangsa.
Terkait sumber pendanaan untuk menjamin upah minimum ini, Sugiat menyarankan agar kompensasi guru di masa depan dapat dialokasikan melalui optimalisasi dana BOS, atau bahkan melalui skema subsidi khusus yang disediakan langsung oleh pemerintah pusat. Usulan ini didukung oleh amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang secara eksplisit mewajibkan alokasi minimal **20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)** untuk sektor pendidikan. Dengan porsi anggaran yang besar tersebut, seharusnya negara memiliki kapasitas finansial untuk menjamin kesejahteraan minimum bagi seluruh pendidik.
### 🛡️ Perlindungan Hukum Profesi Guru
Selain isu kesejahteraan, Sugiat Santoso juga menyoroti perlunya penguatan aspek **perlindungan hukum** bagi profesi guru. Ia mengambil contoh kasus Kepala SMAN 1 Cimarga yang sempat menuai kontroversi setelah dicopot dari jabatannya karena menampar murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kasus semacam ini menggarisbawahi betapa rentannya guru terhadap tuntutan hukum saat berupaya menegakkan disiplin dan melaksanakan fungsi edukatifnya.
Oleh karena itu, revisi UU Guru dan Dosen harus mempertegas dan memperjelas perlindungan hukum bagi guru, serupa dengan perlindungan yang diberikan kepada profesi lain yang diakui dan dilindungi secara ketat, seperti dokter, pengacara, dan wartawan. Sugiat mengusulkan agar dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Guru yang direvisi, terdapat pasal yang secara jelas memisahkan antara **tindakan yang bersifat pidana** dan **pelanggaran etika profesi**. Pemisahan ini sangat krusial untuk mencegah kriminalisasi terhadap tindakan guru yang semata-mata didasarkan pada upaya pembinaan atau penegakan aturan.
### 🏛️ Reformasi Tata Kelola dan Distribusi Guru
Isu lain yang dianggap penting untuk diatasi melalui revisi UU adalah **tata kelola guru** yang selama ini terdesentralisasi. Sugiat berpandangan bahwa sistem birokrasi berjenjang yang ada saat ini, yang melibatkan pemerintah daerah, justru sering menghambat proses distribusi guru secara merata dan menghadirkan nuansa politik yang kuat dalam pengelolaan sistem pendidikan di tingkat lokal.
Menurutnya, desentralisasi pengelolaan pendidikan menyebabkan institusi sekolah secara tidak langsung harus tunduk pada kepala daerah. Hal ini terjadi karena kepala-kepala sekolah sering kali dipilih oleh kepala daerah melalui Dinas Pendidikan setempat, yang pada akhirnya dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam politik elektoral, terutama pada momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan perbaikan tata kelola agar guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.
Usulan perbaikan tata kelola ini sejalan dengan hasil Rapat Kerja (Raker) Baleg DPR bersama Kementerian Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kebudayaan (Kemendikdasmen) serta Kementerian Agama (Kemenag) yang digelar pada Rabu (19/11). Dalam rapat tersebut, Wakil Menteri Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kebudayaan (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, mengusulkan agar guru harus diatur sebagai sebuah **profesi** murni. Tujuannya adalah agar guru yang berstatus ASN dapat lebih fokus pada tugas-tugas edukatif dan tidak terbebani oleh urusan administratif yang berlebihan.
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikdasmen, Nunuk Suryani, menyampaikan pandangan bahwa pengelolaan guru, termasuk urusan distribusi, sebaiknya dilakukan **sepenuhnya oleh pemerintah pusat**. Sentralisasi pengelolaan ini diyakini akan mempermudah dan mengefektifkan distribusi guru ke seluruh pelosok tanah air, sehingga masalah kekurangan guru di daerah terpencil dapat diatasi dengan lebih baik.
Masalah kesejahteraan guru juga menjadi perhatian Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang turut hadir dalam Raker tersebut. Menteri Agama mengungkapkan bahwa banyak guru madrasah yang berada di bawah naungan Kemenag dan bukan berstatus ASN menghadapi nasib yang sama buruknya, dengan gaji bulanan yang sangat minim, bahkan hanya berkisar antara **Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan**. Ia menekankan bahwa kondisi ini harus segera dicarikan solusi yang komprehensif.
Secara keseluruhan, upaya revisi Undang-Undang Guru dan Dosen yang diinisiasi oleh Baleg DPR ini bertujuan untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih kuat dan adil, yang secara eksplisit menjamin kesejahteraan minimum, perlindungan hukum yang tegas, serta tata kelola profesi yang bebas dari intervensi politik, demi mengangkat harkat dan martabat para guru sebagai tonggak utama kemajuan pendidikan nasional.