Connect with us

Education

Tembok Stigma: Penghalang Utama Deteksi Dini dan Pengobatan HIV di Indonesia

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari detikhealth Upaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) untuk menanggulangi penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menemui jalan terjal. Berdasarkan data estimasi terbaru, terdapat sekitar 564 ribu Orang Dengan HIV (ODHIV) di Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan: baru sekitar 68 persen dari total estimasi tersebut yang status kesehatannya telah teridentifikasi atau ditemukan. Artinya, ratusan ribu orang lainnya masih hidup tanpa mengetahui status mereka, yang berpotensi memperluas rantai penularan. Hambatan utama dalam menjangkau sisa populasi yang belum terdeteksi ini bukan semata-mata karena kurangnya fasilitas medis atau logistik obat-obatan, melainkan karena berdirinya “tembok raksasa” berupa stigma negatif dan diskriminasi. Ketakutan akan penghakiman sosial membuat banyak orang enggan memeriksakan diri. Ironi di Ruang Kesehatan dan Lingkungan Terdekat, Rizki Anisa Sari, seorang anggota Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Banten, mengungkap fakta pahit bahwa diskriminasi justru sering muncul di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman: lingkungan keluarga (rumah) dan fasilitas layanan kesehatan.

Dalam sebuah konferensi pers, Rizki menyoroti perilaku oknum tenaga kesehatan yang masih tidak profesional dan cenderung menghakimi. Pertanyaan-pertanyaan bernada moralis seperti “Tertular dari mana?” atau seruan untuk “bertobat” sering kali dilontarkan kepada pasien. Padahal, penghakiman semacam itu sama sekali tidak relevan dengan penanganan medis dan justru menjadi bumerang. Akibat perlakuan tidak menyenangkan ini, banyak ODHIV—terutama perempuan—yang merasa disalahkan, malu, hingga akhirnya memilih berhenti berobat atau menutup diri.Rizki menekankan bahwa banyak perempuan yang tertular justru dari pasangan sah atau suami mereka sendiri. Mereka sudah harus menanggung beban fisik berupa kewajiban minum obat Antiretroviral (ARV) seumur hidup, risiko menopause dini, hingga pengeroposan tulang. Tambahan beban mental dari ucapan sinis petugas kesehatan hanya akan memperburuk kualitas hidup mereka.Bukti Hidup dan Pentingnya Dukungan Psikologis, Rizki sendiri adalah bukti nyata bahwa ODHIV dapat menjalani kehidupan yang normal dan produktif jika disiplin menjalani pengobatan.

Setelah 18 tahun hidup berdampingan dengan HIV, ia mampu membuktikan bahwa virus tersebut dapat dikendalikan. Anaknya tumbuh sehat dengan status negatif, ia pun mampu hidup mandiri secara ekonomi, dan pasangan barunya tetap berstatus negatif setelah tiga tahun bersama.Namun, ia tidak menampik bahwa fase keputusasaan adalah hal yang nyata. Pikiran untuk menyerah dan mengakhiri hidup sering kali menghantui ODHIV di masa-masa awal diagnosis. Motivasi untuk tetap hidup demi orang-orang tercinta lah yang akhirnya mendorong kepatuhan minum obat ARV.Pergeseran Strategi Kampanye: Dari Medis ke Humanis, senada dengan Rizki, Patrick dari Koalisi AIDS Indonesia memandang masalah ini sebagai isu sosial yang kompleks, bukan sekadar isu klinis. Tekanan sosial melahirkan self-stigma atau stigma terhadap diri sendiri, yang membuat seseorang merasa tidak berharga. Ketakutan inilah yang membuat banyak orang menolak tes HIV, yang pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan mereka secara drastis.

Untuk melawan hal ini, Koalisi AIDS Indonesia kini mengubah strategi kampanye mereka. Jika sebelumnya pelibatan publik figur atau selebritas hanya sebatas formalitas seremonial, kini pendekatannya lebih substansial. Publik figur diajak untuk benar-benar memahami konteks dan realitas ODHIV agar kampanye yang dilakukan tidak kosong.Narasi yang dibangun pun diubah menjadi lebih personal dan merangkul. Bukan lagi sekadar perintah medis, melainkan ajakan persahabatan seperti menawarkan diri untuk menemani tes atau berobat. Pendekatan “pendampingan” ini diharapkan mampu meruntuhkan rasa takut dan kesepian yang selama ini menjadi penghalang utama bagi masyarakat untuk mengetahui status kesehatan mereka.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *