Anak-anak
Suara dari Rawa Gambut: Anak-Anak Sebangau Ungkap Memori Karhutla 2015 Melalui Aksi Teatrikal

Semarang (usmnews) – Dikutip Kompas.com Aksi teatrikal yang memukau dan penuh makna diselenggarakan di Taman Wisata Air Hitam, Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng). Sebanyak 65 anak lokal Sebangau, yang merupakan bagian dari komunitas konservasi Sebangau Rangers, menggunakan panggung ini untuk menyalurkan pengalaman traumatis mereka terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) sekaligus menyuarakan harapan mereka bagi pelestarian ekosistem hutan gambut yang vital.
Pertunjukan teater ini merupakan bagian pembuka dari perhelatan tahunan Festival Anak Sebangau 2025 yang diinisiasi oleh Yayasan Borneo Nature Indonesia (YBNI) atau Borneo Nature Foundation (BNF). Dengan mengenakan kostum yang sarat simbol—seperti jubah merah menyala yang mewakili bencana api dan jubah hijau-cokelat yang melambangkan pepohonan, serta topeng berbagai jenis satwa—anak-anak ini menghidupkan kisah kelam yang pernah mereka alami.
Awal drama menggambarkan kehidupan yang damai, di mana manusia dan satwa di sekitar Taman Nasional Sebangau (TNS) hidup harmonis dalam udara yang asri. Namun, ketenangan itu seketika sirna ketika dentuman musik yang memekakkan telinga mengiringi hadirnya “api” yang melalap habis ruang hidup mereka. Dalam adegan yang menyayat, api digambarkan membunuh satwa dan menyebabkan anak-anak pingsan akibat kepungan kabut asap yang berbahaya, yang secara efektif mengganggu area bermain mereka dan menghancurkan keseimbangan ekosistem.
Koordinator Edukasi YBNI, Agus Damanik, menjelaskan bahwa pertunjukan ini merupakan cerminan nyata dari kehidupan anak-anak di sekitar TNS yang sangat rentan terhadap Karhutla. Namun, narasi penderitaan ini diakhiri dengan munculnya optimisme: tujuh hingga sepuluh anak tampil membawa bibit pohon untuk ditanam. Tindakan ini merupakan personifikasi dari harapan anak-anak, di mana pohon-pohon yang tumbuh tinggi melambangkan kembalinya udara segar dan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Di samping itu, anak-anak Sebangau dalam kesempatan tersebut juga memperkenalkan sebuah kearifan lokal dalam bahasa Dayak Ngaju, yaitu “Kalawa Bara Himba,” yang bermakna “Cahaya dari Hutan.” Istilah ini merefleksikan transformasi dari cahaya api yang merusak menjadi cahaya harapan yang dibawa oleh hutan yang kembali menghijau dan generasi muda.

Chief Executive Officer (CEO) YBNI, Anton Nurcahyo, menekankan bahwa Festival Anak Sebangau ini adalah sebuah “titik balik” pasca bencana Karhutla parah pada tahun 2015 yang melanda Kalteng. Bencana besar tersebut telah memantik semangat kolektif masyarakat dan anak-anak untuk secara serius menyelamatkan dan melestarikan lingkungan. Sebangau dikenal sebagai salah satu kawasan gambut terbesar dan terpenting di dunia, yang secara intrinsik sangat rentan terbakar saat musim kemarau. Oleh karena itu, bagi Anton, upaya pelestarian dan penyelamatan rawa gambut bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan yang harus dilakukan bersama-sama untuk meningkatkan kesadaran publik.
Lebih lanjut, dampak kabut asap Karhutla 2015 telah meninggalkan ingatan kolektif yang mendalam bagi warga Sebangau. Bagi mereka, trauma kabut asap masih sangat nyata, bahkan mengubah pemahaman mereka terhadap istilah “kabut,” yang kini secara otomatis mereka asosiasikan dengan kabut asap yang berbahaya, bukan lagi dengan kabut pegunungan yang menyegarkan. Inilah yang menjadi motivasi utama mengapa upaya konservasi lingkungan dan pencegahan Karhutla harus terus digalakkan.







