International
Sejarah Lebanon, dari Peradaban Fenisia hingga Konflik Modern

Sejarah dan Kompleksitas Lebanon: Dari Fenisia hingga Krisis Kontemporer
(usmnews) – Lebanon telah lama menjadi pusat komersial yang penting di Timur Tengah, berkat tingkat literasi masyarakatnya yang tinggi dan tradisi dagang yang kuat. Namun, posisi strategisnya—berbatasan dengan Suriah dan Israel—serta keragaman etnis dan agama, menjadikannya juga sering menjadi arena konflik. Saat ini, populasi Lebanon terdiri dari kelompok Muslim Syiah, Muslim Sunni, Kristen, dan Druze, yang telah berakar di wilayah tersebut selama berabad-abad.
Wilayah yang kini dikenal sebagai Lebanon memiliki sejarah yang kaya, dimulai dari zaman prasejarah dengan keberadaan orang Fenisia. Sekitar tahun 2500 SM, orang Fenisia, yang terkenal sebagai pelaut dan pedagang ulung, mendirikan kota-kota pelabuhan di pesisir Lebanon, menjadikannya sebagai pusat perdagangan penting di Laut Tengah. Mereka juga menciptakan salah satu sistem alfabet awal yang menjadi dasar bagi banyak alfabet modern.
Walaupun bangsa Fenisia tidak pernah mendirikan kerajaan besar, kota-kota independen seperti Tyre, Sidon, dan Byblos sering berinteraksi dengan kekuatan besar lainnya seperti Mesir dan Babilonia. Seiring waktu, wilayah mereka mengalami invasi oleh berbagai kekaisaran, termasuk Mesir, Asyur, Babilonia, dan Romawi. Meskipun demikian, pengaruh budaya Fenisia tetap hidup, terutama dalam aspek perdagangan dan navigasi.
Setelah penaklukan Aleksander Agung, wilayah Fenisia menjadi bagian dari Kerajaan Seleukia dan kemudian kekuasaan Romawi, yang mengintegrasikan Lebanon ke dalam provinsi Suriah. Di bawah kekuasaan Romawi, Beirut (Berytus) berkembang sebagai pusat hukum dan pendidikan. Infrastruktur signifikan dibangun, seperti jalan dan kuil, termasuk Kuil Jupiter di Baalbek, yang menjadi simbol kemegahan Romawi.
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, Lebanon menjadi bagian dari Kekaisaran Bizantium, yang mendirikan gereja dan biara untuk mendukung penyebaran agama Kristen. Namun, pada abad ke-7, Lebanon jatuh di bawah kekuasaan Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, di mana pengaruh Islam mulai mengubah struktur sosial dan politik.
Di masa kekuasaan Arab, Lebanon menjadi wilayah yang relatif damai dan berkembang, meskipun tantangan muncul dari invasi luar. Komunitas Druze mulai muncul di pegunungan Lebanon pada abad ke-11, dan selama Perang Salib, Lebanon menjadi medan pertempuran antara Tentara Salib dan pasukan Muslim, dengan benteng seperti Krak des Chevaliers dibangun untuk pertahanan.
Memasuki abad ke-16, Lebanon berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, yang memerintah selama lebih dari 400 tahun. Meskipun menjadi bagian dari provinsi Syam, wilayah pegunungan sering menikmati otonomi, terutama di bawah penguasa lokal seperti Emir Fakhr al-Din II. Namun, ketegangan antaragama mulai meningkat, yang berpuncak pada perang saudara antara komunitas Druze dan Maronit pada tahun 1860, memicu intervensi kekuatan Eropa.
Di awal abad ke-20, setelah kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia I, Lebanon berada di bawah mandat Prancis dan membentuk wilayah administrasi “Greater Lebanon”. Negara ini memperoleh kemerdekaan pada tahun 1943 dengan sistem politik sektarian yang membagi kekuasaan berdasarkan afiliasi agama. Meskipun berusaha menciptakan keseimbangan, ketegangan antarkelompok tetap ada.
Pada tahun 1975, perang saudara meletus akibat persaingan antar kelompok agama, yang diperburuk oleh keberadaan pengungsi Palestina. Konflik ini berlangsung selama 15 tahun, melibatkan intervensi Suriah dan Israel, hingga mencapai akhir dengan Taif Agreement yang berusaha meredakan ketegangan.
Pasca perang, Lebanon berada di bawah pengaruh Suriah hingga 2005. Meskipun ada upaya rekonstruksi, politik Lebanon tetap rumit, terutama setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik Hariri, yang memicu “Cedar Revolution” dan penarikan pasukan Suriah. Namun, ketegangan politik terus berlanjut, dengan munculnya kelompok Hezbollah sebagai kekuatan politik utama.
Dalam dekade terakhir, Lebanon menghadapi krisis ekonomi serius, diperparah oleh ledakan besar di pelabuhan Beirut pada tahun 2020. Krisis ini mengakibatkan hiperinflasi dan kelangkaan barang, memicu protes massal terhadap korupsi pemerintah. Meskipun masyarakat Lebanon berusaha bangkit, negara ini kembali terjerat konflik, terutama antara Hezbollah dan Israel, yang menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Lebanon masih sangat besar.