Lifestyle
Minim Edukasi, Pengidap Epilepsi Masih Dapat Stigma

(usmnews) – Kurangnya edukasi tentang epilepsi membuat Orang Dengan Epilepsi (ODE) rentan mengalami stigma dan olokan. Nurhaya Nurdin, seorang dosen Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin, mengalaminya secara langsung. “Stigma negatif terhadap ODE masih sangat kuat di Indonesia,” ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (11/3/2025).
Epilepsi mengganggu sistem saraf pusat dan membuat otak beraktivitas tidak normal, sehingga memicu kejang berulang akibat pelepasan muatan listrik berlebihan. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang mengaitkan epilepsi dengan kesurupan dan percaya bahwa penyakit ini menular.
Aya, sapaan akrab Nurhaya, pernah mengalami diskriminasi sejak kecil. Teman-temannya menjauhinya, bahkan tetangga melarang anak mereka bermain dengannya karena takut tertular. Ia mengenang bahwa banyak orang sering mengejeknya, bahkan ada yang menganggap epilepsi sebagai penyakit menular.
Menurut Aya, masyarakat harus lebih gencar mengedukasi tentang epilepsi agar mereka tidak lagi mengucilkan ODE dan tahu cara menangani ODE saat kejang. Banyak orang ingin membantu tetapi tidak tahu harus berbuat apa. “Ada yang berpikir harus menahan tubuh ODE atau memasukkan benda ke dalam mulutnya saat kejang, padahal itu keliru,” jelasnya.
Sejak dokter mendiagnosisnya dengan epilepsi di kelas 6 SD, Aya bertekad mengedukasi masyarakat. “Beberapa guru masih menolak anak dengan epilepsi karena tidak tahu cara menanganinya. Ini yang perlu diubah,” tegasnya.
Aya sendiri mengidap epilepsi sejak usia delapan tahun akibat benturan di kepala saat terjatuh. Awalnya, orangtuanya membawa Aya ke banyak “orang pintar” sebelum akhirnya berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf. Setelah rutin mengonsumsi obat, kejangnya berkurang drastis. “Saya merasa diberikan epilepsi untuk bisa menyebarkan edukasi ini ke lebih banyak orang,” tutupnya.