International
Menanti Ujian Stabilitas: Analisis Gencatan Senjata Israel-Hamas Pasca Rencana 20 Poin Trump
Pada tanggal 29 September, ketika Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan sebuah inisiatif perdamaian yang ambisius, yang dikenal sebagai rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza, skeptisisme segera muncul di kalangan banyak pengamat politik. Secara khusus, saya menduga bahwa Hamas, gerakan yang mengendalikan Jalur Gaza, akan menolak usulan tersebut secara mutlak. Syarat-syarat yang diajukan dalam rencana tersebut memang terkesan sangat memberatkan bagi Hamas: rencana itu secara eksplisit melarang gerakan Palestina tersebut terlibat dalam pemerintahan Gaza di masa mendatang dan, yang lebih krusial, mewajibkannya untuk menyerahkan seluruh persenjataannya. Persyaratan terakhir ini dianggap oleh banyak pihak, termasuk saya, sebagai hal yang nyaris mustahil untuk dapat diterima oleh kelompok bersenjata tersebut.
Namun, yang terjadi setelah pengumuman itu adalah perkembangan politik yang luar biasa cepat dan mengejutkan, membuat banyak pihak—termasuk saya sendiri—mengalami kesulitan untuk mencerna dan memercayai realitas baru ini. Hanya berselang beberapa hari setelah pengumuman Trump, serangkaian pembicaraan tidak langsung yang intensif berlangsung antara perwakilan Israel dan Hamas. Pembicaraan yang dimediasi ini membuahkan hasil yang di luar dugaan: kedua belah pihak sepakat untuk melaksanakan tahap pertama dari rencana perdamaian Trump. Konsekuensinya, gencatan senjata mulai diberlakukan pada Jumat, 10 Oktober. Kesepakatan penting ini kemudian diformalkan dan disegel dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Sharm el-Sheikh, sebuah kota resor yang terletak di tepi Laut Merah, Mesir, pada hari Senin, 13 Oktober.
Mendengar kabar penetapan gencatan senjata itu, saya berada jauh dari garis depan, tepatnya di apartemen saya di Kota El-Shorouk, timur Kairo. Sambil menyaksikan siaran langsung upacara penandatanganan kesepakatan damai yang bersejarah itu di layar televisi, saya merasa dihantam gelombang ingatan yang mendalam dan memilukan. Pikiran saya segera tertuju pada mereka yang berjuang keras dan sayangnya tidak sempat hidup untuk menyaksikan momen penting ini. Kenangan tentang kampung halaman saya di Gaza, tempat saya menghabiskan tujuh bulan penuh selama periode perang dua tahun, kembali membayangi ingatan saya. Saya teringat akan gambaran malam-malam yang gelap gulita, di mana satu-satunya penerangan berasal dari cahaya lilin yang redup; saya teringat akan dentuman keras serangan udara yang mengguncang bumi; saya teringat pada wajah-wajah lelah dan putus asa para ibu yang berkerumun di koridor rumah sakit; dan saya teringat akan aroma kuat debu dan asap yang seolah-olah telah menjadi bagian permanen dari udara di jalanan Gaza.
Selama dua puluh empat bulan yang mencekam, perundingan gencatan senjata telah menjadi ritual yang berulang-ulang, namun setiap upaya selalu berakhir dengan rasa kekalahan dan kekecewaan. Setiap pengumuman gencatan senjata di Gaza selalu disertai oleh harapan yang rapuh—harapan bahwa suara rentetan tembakan senjata akhirnya akan benar-benar sunyi—sekaligus rasa keraguan yang mendalam tentang seberapa lama masa ketenangan yang didapat itu akan bertahan.
“Kami sangat berharap gencatan senjata kali ini akan bertahan lama. Kami sudah sangat lelah terus-menerus dikecewakan dan harus bangkit dari kehancuran,” tutur sahabat saya, Reem Salah, seorang perawat yang bertugas di Rumah Sakit Nasser, saat kami berbicara melalui sambungan telepon. Reem menambahkan bahwa meskipun ada kabar baik, “Warga di sini masih bersikap hati-hati, namun terdapat sorotan baru di mata mereka, sesuatu yang berada di antara rasa ketakutan yang mendalam dan kelegaan yang tiba-tiba.”
Bagi warga Gaza sendiri, gencatan senjata ini membawa perubahan suasana yang nyata namun terasa asing. Youssef Hamdan (42), seorang pengemudi taksi dari Khan Younis, adalah salah satu yang merasakannya. Dia mendengar berita gencatan senjata itu saat sedang melakukan tugasnya yang paling berat: memindahkan jenazah para korban tewas di seluruh kota. Ketika ia berhenti di depan Rumah Sakit Nasser, ia hanya bisa duduk terdiam di dalam kendaraannya. “Saya bahkan tidak merayakannya,” ungkapnya dengan nada pelan. “Butuh waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa saya masih bernapas, dan keluarga saya selamat, setidaknya untuk saat ini.”
Sepanjang masa perang, Hamdan menghabiskan hari-harinya di balik kemudi, bekerja tanpa henti untuk mengantarkan para korban luka dan pengungsi ke lokasi yang relatif aman. Keluarga kecilnya sendiri terpaksa mengungsi berkali-kali setelah serangan udara Israel menghancurkan tempat perlindungan yang mereka cari. Setiap malam, ia berjuang mencari waktu untuk memeriksa kondisi keluarganya sebelum kembali melintasi jalanan yang diwarnai suara tembakan, menjalankan tugasnya menyelamatkan orang lain sambil tetap berusaha mencari nafkah. Pengalaman berbulan-bulan menghadapi bombardir telah membuat Hamdan mengembangkan sikap waspada yang kronis setiap kali ia mendengar suara keras yang muncul tiba-tiba. “Setidaknya saya dapat berkendara tanpa harus terus-menerus menatap langit,” ujarnya dengan nada pelan namun lega. Ia menyimpulkan dengan pernyataan yang mengharukan: “Perang mungkin telah berakhir, namun rasa takut tidak benar-benar hilang, begitu pula ingatan mendalam tentang apa yang telah dialami oleh keluarga dan diri saya.”
Di Gaza City, seorang guru bernama Rawan Abu Jaber (29), yang berlindung di sebuah tenda di lingkungan al-Rimal yang hancur, bahkan menangis saat mendengar kabar gencatan senjata tersebut. Sama seperti banyak warga Gaza lainnya, ia merasa sulit memercayai kenyataan bahwa ia berhasil selamat dari kengerian perang. “Saya menangis, bukan karena tangis bahagia, namun karena merasa sangat lelah. Rasanya tidak nyata,” tuturnya. Di awal perang, Abu Jaber kerap berusaha menenangkan murid-muridnya, menjanjikan bahwa rasa takut itu pada akhirnya akan berlalu. Namun, bombardir tanpa henti selama berbulan-bulan telah mengajarkan hal sebaliknya bagi dirinya sendiri. Ia dan keluarganya beberapa kali berlindung di rumah mereka untuk menghindari serangan Israel. Suatu malam, sebuah ledakan hebat yang terjadi hanya beberapa rumah dari tempat tinggal mereka memecahkan jendela dan melemparkan mereka ke lantai—sebuah momen yang nyaris merenggut nyawa Abu Jaber. “Saya berdoa bukan untuk meminta selamat, namun jika saat itu [kematian] terjadi, semoga itu akan berlangsung cepat,” kenangnya dengan getir. Setelah penerapan gencatan senjata, Abu Jaber memberanikan diri keluar dari tendanya dan mengamati sisa-sisa lingkungannya. “Dalam benak saya, saya berpikir, kami selamat, namun sebagian dari [diri] kami tetap tertinggal di bawah puing-puing tersebut,” katanya.
Meskipun euphoria kelegaan menyelimuti Gaza, banyak warga Palestina, terutama para analis, memandang gencatan senjata ini hanya sebagai langkah awal dalam sebuah perjalanan yang sangat panjang dan penuh rintangan menuju stabilitas jangka panjang. Berakhirnya pertempuran dengan senjata tidak serta-merta berarti bahwa konflik mendasar antara Palestina dan Israel telah selesai. Sebaliknya, hal ini justru menandai dimulainya fase baru yang dipenuhi ketidakpastian, di mana tantangan politik, ekonomi, dan kemanusiaan yang akut harus segera diatasi.
“Hamas memang telah menerima klausul tentang gencatan senjata dan pertukaran tahanan, namun tidak semua detail [disepakati] terkait dengan tahap selanjutnya,” jelas Esmat Mansour, seorang analis politik Palestina yang berbasis di Ramallah. Tahap selanjutnya ini, menurutnya, mencakup pengaturan keamanan dan politik yang lebih kompleks. Mansour menyimpulkan dengan nada hati-hati, “Fase selanjutnya inilah yang akan menentukan apakah gencatan senjata ini dapat bertahan lama atau justru gagal total. Setiap pelanggaran atau eskalasi di lapangan dapat membawa situasi tersebut kembali ke titik awal yang mengerikan.” Dengan demikian, kelegaan yang dirasakan Gaza saat ini bercampur dengan kewaspadaan terhadap masa depan yang masih sarat risiko.