Uncategorized
Membangun Pondasi Peradaban: Urgensi Sains Dasar yang Inklusif dan Berkelanjutan

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.id, Dalam diskursus kemajuan teknologi dan inovasi global, kita sering kali terpukau pada hasil akhir aplikasi canggih, gawai terbaru, atau obat-obatan mutakhir.
Namun, artikel ini mengajak kita menyelami kembali akar dari segala kemajuan tersebut: Sains Dasar (Basic Sciences). Sains dasar yang mencakup fisika, kimia, biologi, dan matematika adalah fondasi intelektual yang menopang seluruh bangunan peradaban modern. Tanpa sains dasar yang kokoh, inovasi hanyalah mimpi kosong.
Paradoks Utilitas: Mengapa Sains Dasar Sering Terabaikan?
Salah satu tantangan terbesar yang disoroti adalah “jebakan pragmatisme” yang sering dialami oleh negara-negara berkembang. Sering kali, kebijakan negara lebih memprioritaskan riset terapan yang menjanjikan keuntungan ekonomi jangka pendek atau hasil yang instan.
Sains dasar, yang didorong oleh rasa ingin tahu (curiosity-driven) dan sering kali tidak memberikan dampak ekonomi langsung, kerap dipandang sebelah mata dan minim pendanaan.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa terobosan besar mulai dari internet, GPS, hingga teknologi medis seperti MRI bermula dari pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam sains murni yang awalnya tidak memiliki tujuan komersial.
Mengabaikan sains dasar demi mengejar teknologi terapan ibarat mengharapkan pohon berbuah lebat tanpa pernah merawat akarnya; pohon itu perlahan akan mati.
Makna “Inklusif” dalam Sains Masa Depan
Poin krusial yang diangkat adalah konsep inklusivitas. Masa depan sains tidak boleh lagi menjadi menara gading yang hanya bisa diakses oleh segelintir elit akademik atau negara maju saja. Inklusivitas dalam sains dasar mencakup beberapa dimensi penting:
- Kesetaraan Gender: Membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkarier dan memimpin dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Perspektif yang beragam sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah global yang kompleks.
- Keadilan Geografis: Sains harus dapat diakses dan dikembangkan tidak hanya di pusat-pusat kota besar atau negara maju (Global North), tetapi juga merata ke negara berkembang (Global South) dan daerah terpencil.
- Akses Terbuka (Open Science): Demokratisasi pengetahuan di mana data, jurnal, dan hasil penelitian dapat diakses oleh publik secara luas, bukan terkunci di balik tembok institusi yang mahal. Hal ini penting untuk mempercepat kolaborasi global dalam menghadapi krisis seperti perubahan iklim atau pandemi.

Sains Dasar sebagai Tulang Punggung SDGs
Artikel ini juga menegaskan relevansi sains dasar dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Isu-isu kritis seperti krisis energi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim tidak dapat diselesaikan hanya dengan kebijakan politik; mereka membutuhkan solusi berbasis bukti (evidence-based) yang lahir dari pemahaman mendalam tentang hukum alam.
Oleh karena itu, kolaborasi lintas disiplin ilmu dan lintas batas negara menjadi mutlak. Sains dasar menyediakan bahasa universal yang memungkinkan para ahli dari berbagai belahan dunia untuk bekerja sama mencari solusi bagi kelangsungan hidup planet ini.
Langkah Strategis ke Depan
Untuk mencapai masa depan yang dicita-citakan tersebut, diperlukan transformasi mendasar dalam cara kita memandang pendidikan dan pendanaan riset.
Pendidikan sains harus ditanamkan sejak dini bukan sebagai hafalan rumus, melainkan sebagai metode berpikir kritis dan logis. Negara perlu berkomitmen pada investasi jangka panjang dalam pendanaan riset dasar, serta menciptakan ekosistem yang mendukung kebebasan akademik.
Sebagai penutup, memperkuat sains dasar yang inklusif bukan sekadar pilihan akademis, melainkan investasi strategis bagi kemandirian dan kedaulatan bangsa di masa depan. Kita harus bergerak dari sekadar konsumen teknologi menjadi produsen pengetahuan yang berkontribusi bagi kesejahteraan umat manusia.
Langkah selanjutnya yang bisa saya lakukan untuk Anda: Apakah Anda ingin saya mencarikan data spesifik mengenai perbandingan anggaran riset sains dasar di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk melengkapi argumen ini?







