Connect with us

Nasional

Memahami Hak Guna Usaha (HGU), Sertifikat Tanah Kunci yang Menjadi Dasar Kepemilikan Lahan bagi Mayoritas Perusahaan Kelapa Sawit.

Published

on

Semarang (usmnews) dikutip dari kompas.com Dalam sebuah Rapat Kerja (Raker) yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin, 24 November 2025, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Khozin, mengungkap sebuah fakta mengejutkan terkait tata kelola agraria nasional. Khozin menyoroti adanya kesenjangan administrasi yang masif di sektor perkebunan kelapa sawit, di mana ratusan perusahaan terindikasi mengelola lahan negara tanpa alas hak yang lengkap.

Menurut temuan yang dipaparkan Khozin di hadapan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), banyak perusahaan sawit yang hanya bermodalkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun belum atau tidak mengantongi Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Fenomena ini terdeteksi di sejumlah provinsi sentra perkebunan seperti Jambi, Riau, dan Lampung. Padahal, perusahaan-perusahaan tersebut telah mengelola kekayaan negara berupa lahan seluas ratusan ribu hektare. Atas dasar temuan ini, Khozin mendesak Kementerian ATR/BPN untuk menindaklanjuti laporan yang telah diserahkan guna menertibkan potensi kerugian negara akibat ketidakpatuhan administrasi tersebut.

Memahami Hak Guna Usaha (HGU) dalam Konteks Hukum
Untuk memahami urgensi dari kritik yang disampaikan oleh DPR, perlu dipahami definisi dan kedudukan hukum HGU itu sendiri. HGU adalah jenis hak atas tanah yang diberikan negara kepada subjek hukum (seperti perusahaan perkebunan atau pertanian) untuk keperluan usaha dalam jangka waktu tertentu. HGU berbeda secara fundamental dengan Hak Milik; jika Hak Milik bersifat abadi, HGU memiliki batasan waktu (durasi) yang diatur secara ketat oleh undang-undang. Tanpa sertifikat HGU, sebuah perusahaan perkebunan pada dasarnya belum memiliki legitimasi penuh atas tanah yang mereka usahakan.

Regulasi utama yang mengatur HGU saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Durasi dan Siklus Hidup HGU: Potensi Hingga 95 Tahun
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021, negara memberikan skema waktu penggunaan tanah HGU melalui tiga tahapan terpisah, yang jika diakumulasikan dapat mencapai total maksimal 95 tahun. Berikut rinciannya:

Pemberian Jangka Waktu Awal: HGU pertama kali diberikan untuk durasi paling lama 35 tahun.

Perpanjangan Hak: Setelah jangka waktu awal mendekati akhir, pemegang hak dapat mengajukan perpanjangan untuk waktu paling lama 25 tahun.

Pembaruan Hak: Setelah masa perpanjangan berakhir, hak tersebut dapat diperbarui kembali untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

Penting untuk dicatat bahwa akumulasi waktu hingga 95 tahun ini bukanlah hak otomatis, melainkan potensi maksimal yang hanya bisa dicapai jika perusahaan memenuhi seluruh persyaratan ketat dalam setiap fase perpanjangan dan pembaruan.

Jika masa berlaku HGU habis dan perusahaan gagal memperpanjang atau memperbarui—atau jika permohonan mereka ditolak—maka status tanah tersebut akan kembali menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara atau masuk ke dalam Tanah Hak Pengelolaan (HPL) sesuai Pasal 22 ayat (2). Hal ini menegaskan bahwa negara tetap memegang kendali tertinggi atas tanah tersebut.

Mekanisme dan Syarat Perpanjangan
Pemerintah juga mengatur secara spesifik kapan dan bagaimana perpanjangan diajukan. Mengacu pada Pasal 26, terdapat dua mekanisme waktu pengajuan:

Perpanjangan: Dapat diajukan bahkan sebelum masa berlaku habis, yakni ketika tanaman atau usaha dinilai sudah efektif, atau paling lambat sebelum masa HGU berakhir.

Pembaruan: Permohonan ini dapat diajukan paling lama dalam kurun waktu 2 tahun setelah masa HGU berakhir.

Namun, pengajuan tersebut tidak serta merta disetujui. Pasal 25 PP Nomor 18 Tahun 2021 menetapkan syarat-syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemegang HGU, antara lain:

Tanah harus terbukti masih dimanfaatkan dan diusahakan sesuai dengan fungsi peruntukannya.

Pemegang hak masih memenuhi syarat hukum sebagai subjek pemegang hak.

Syarat-syarat pemberian hak awal telah dipenuhi dengan baik.

Pemanfaatan tanah masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Tanah tersebut tidak dipergunakan atau dibutuhkan untuk kepentingan umum.

Seluruh proses ini, mulai dari pemberian awal hingga pembaruan, wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran inilah yang kemudian melahirkan sertifikat sebagai bukti hak yang sah secara hukum, sebuah dokumen vital yang menurut Muhammad Khozin, saat ini tidak dimiliki oleh ratusan perusahaan sawit tersebut.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *