Education
Krisis Literasi Bahasa Inggris: Mengapa Rerata Nilai TKA SMA 2025 Hanya Mencapai 24 dari 100?

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.com Laporan terbaru dari hasil Tes Kompetensi Akademik (TKA) tingkat SMA tahun 2025 menyisakan catatan kritis bagi dunia pendidikan di Indonesia. Temuan yang cukup mengejutkan menunjukkan bahwa nilai rata-rata nasional untuk mata pelajaran Bahasa Inggris hanya berada di angka 24 dari skala 100. Angka ini tidak hanya berada di bawah standar kelulusan ideal, tetapi juga menjadi sinyal peringatan tentang adanya kesenjangan besar antara kurikulum yang diajarkan dengan kompetensi nyata yang dimiliki oleh siswa.
Fenomena ini memicu perdebatan di kalangan praktisi pendidikan dan orang tua. Bagaimana mungkin generasi yang tumbuh di era digital, di mana paparan terhadap konten berbahasa Inggris begitu masif melalui media sosial dan platform hiburan, justru gagal dalam ujian akademis formal? Berdasarkan analisis terhadap laporan tersebut, terdapat beberapa faktor sistemik yang menjadi akar permasalahan ini.

1. Tantangan Soal Berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills)
Salah satu penyebab utama rendahnya skor tersebut adalah pergeseran model soal ujian. Soal-soal TKA 2025 kini lebih banyak mengadopsi pendekatan HOTS, yang menuntut siswa tidak sekadar menerjemahkan kata demi kata, melainkan mampu melakukan analisis mendalam, menyimpulkan makna tersirat, dan memahami konteks bacaan yang kompleks.
Banyak siswa yang terbiasa dengan metode pembelajaran konvensional—yang hanya berfokus pada tata bahasa (grammar) secara teoretis—merasa kesulitan ketika dihadapkan pada teks panjang yang memerlukan daya nalar tinggi. Kurangnya latihan pada soal-soal analitis membuat mereka terjebak pada pilihan jawaban yang mengecoh.
2. Kesenjangan Antara “Bahasa Inggris Media Sosial” dan Akademis
Terdapat paradoks menarik di mana siswa mungkin terlihat fasih berkomunikasi secara informal di platform seperti TikTok atau Instagram, namun kesulitan dalam konteks Academic English. Penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian digital cenderung menggunakan kosakata yang terbatas, slang, dan struktur kalimat yang tidak baku. Sebaliknya, TKA menguji kemampuan literasi yang memerlukan penguasaan kosakata formal dan pemahaman struktur teks ilmiah atau opini yang berat, yang jarang ditemui dalam konsumsi hiburan harian mereka.
3. Rendahnya Minat Baca dan Literasi Dasar
Masalah ini sebenarnya berakar pada rendahnya tingkat literasi secara umum. Jika kemampuan literasi dalam bahasa ibu (Bahasa Indonesia) masih rendah, maka kemampuan untuk memproses informasi dalam bahasa asing akan menjadi jauh lebih sulit. Membaca teks bahasa Inggris bukan hanya soal mengetahui arti kata, tetapi tentang bagaimana merangkai logika berpikir dalam bahasa tersebut. Tanpa kebiasaan membaca yang kuat, siswa akan cepat merasa lelah dan kehilangan fokus saat menghadapi lembar ujian dengan teks yang padat.
4. Kualitas dan Metode Pengajaran di Kelas
Artikel tersebut juga menyoroti perlunya evaluasi terhadap metode pengajaran di sekolah. Masih banyak ruang kelas yang menggunakan pendekatan pasif, di mana interaksi dalam bahasa Inggris sangat minim. Keterbatasan sumber daya guru di beberapa daerah dan kurangnya alat peraga atau materi yang relevan dengan perkembangan zaman membuat proses belajar mengajar menjadi monoton dan kurang efektif dalam meningkatkan kemampuan reading comprehension siswa.
Langkah Strategis ke Depan
Untuk mengatasi kemerosotan nilai ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak:
• Reformasi Kurikulum: Menyelaraskan materi pembelajaran di sekolah dengan standar tes nasional yang berbasis literasi analitis.
• Pelatihan Guru: Meningkatkan kompetensi guru dalam merancang metode pembelajaran yang interaktif dan berbasis pemecahan masalah.
• Budaya Literasi: Mendorong siswa untuk mengonsumsi bacaan berbahasa Inggris yang berkualitas, seperti artikel berita, jurnal sederhana, atau buku fiksi, guna memperkaya kosa kata akademis mereka.

Rendahnya nilai 24 dari 100 ini bukanlah sekadar angka, melainkan cerminan dari tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia dalam menyiapkan generasi yang kompetitif di kancah global. Tanpa perbaikan yang mendasar pada aspek literasi, penguasaan bahasa asing akan terus menjadi hambatan bagi lulusan SMA untuk melangkah ke jenjang pendidikan tinggi maupun dunia kerja profesional.







