Nasional
Kontradiksi Ibu Kota: Jakarta Dinobatkan sebagai Kota Bahagia, Namun Menyimpan Beban Depresi Tertinggi

Jakarta (usmnews) di kutip dari kompascom Ibu kota Indonesia, Jakarta, belakangan ini mendapatkan predikat yang terdengar membanggakan sebagai “kota bahagia.” Namun, di balik label optimis tersebut, data faktual mengenai kesehatan mental warganya justru mengungkapkan sebuah kontradiksi yang mencemaskan. Angka kasus depresi di DKI Jakarta dilaporkan menjadi yang tertinggi di Indonesia, menyoroti jurang antara citra publik dan realitas internal masyarakat perkotaan yang padat.
Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan. Menurut Kemenkes, **1,5 persen penduduk DKI Jakarta yang berusia di atas 15 tahun saat ini hidup dengan kondisi depresi**. Meskipun selisihnya tipis, angka ini sedikit melampaui rata-rata nasional Indonesia yang berada di angka 1,4 persen.
### 📊 Kesehatan Mental Menjadi Ancaman Kesehatan Publik Kedua
Lebih jauh, temuan dari Kemenkes menggarisbawahi urgensi masalah kesehatan mental di tingkat nasional. Gangguan kesehatan mental kini secara mengejutkan telah menempati **peringkat kedua** dari sepuluh penyakit paling umum yang diderita oleh kelompok usia di atas 15 tahun. Fakta ini seharusnya menjadi alarm serius bagi sistem layanan kesehatan di Indonesia.

Namun, dalam konteks gangguan mental secara lebih luas (bukan hanya depresi), DKI Jakarta ternyata bukan pemegang rekor tertinggi. Provinsi dengan tingkat gangguan mental paling tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, di mana prevalensi masalah kesehatan mental mencapai angka mencolok yaitu **4,4 persen**. Sementara itu, Jakarta mencatatkan angka prevalensi sebesar **2,2 persen** untuk masalah kesehatan mental umum, yang mana angka ini masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 2 persen. Angka ini menegaskan bahwa meskipun Jakarta memiliki prevalensi depresi yang tertinggi, beban gangguan mental secara keseluruhan di provinsi tetangganya, Jawa Barat, jauh lebih masif.
### 🗣️ Hambatan Stigma dan Rendahnya Angka Pencarian Bantuan Profesional
Meskipun data menunjukkan betapa seriusnya masalah ini, Ketua Tim Kerja Deteksi Dini dan Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kemenkes, Yunita Arihandayani, mengungkapkan sebuah keprihatinan besar: **sangat sedikit individu dengan gangguan mental yang benar-benar mencari pertolongan profesional**.
Ketidaksesuaian antara tingginya prevalensi penyakit dan rendahnya angka pencarian bantuan terlihat jelas dalam statistik Kemenkes.
* Untuk penderita **gangguan kecemasan**, hanya **0,7 persen** yang akhirnya memutuskan untuk berobat.

* Sementara untuk penderita **depresi**, angkanya sedikit lebih baik namun tetap sangat rendah, yakni hanya **12,7 persen** yang mencari penanganan medis.
Menurut Yunita Arihandayani, akar masalah dari rendahnya angka ini adalah **stigma negatif** yang masih sangat kuat tertanam di masyarakat. Anggapan yang menyudutkan dan merendahkan masih sering dilontarkan kepada penderita depresi. Contohnya, seseorang yang mengalami depresi sering kali dicap sebagai “kurang iman” atau dinilai “tidak kuat mental.” Persepsi-persepsi keliru ini membuat penderita takut dan malu untuk mengakui kondisi mereka dan, akibatnya, enggan mencari bantuan profesional.
Padahal, depresi adalah kondisi medis yang memerlukan diagnosis dan penanganan yang tepat, sama seperti penyakit fisik lainnya. Yunita menegaskan bahwa mengabaikan depresi hanya akan memperburuk kondisi. **Depresi yang awalnya berada dalam tahap ringan berpotensi besar untuk berkembang menjadi depresi berat** jika tidak segera ditangani dan diobati.
Dalam konteks Jakarta yang dinobatkan sebagai kota bahagia, fakta ini menjadi refleksi penting. Predikat bahagia mungkin mencerminkan aspek infrastruktur, ekonomi, atau fasilitas publik, tetapi jelas tidak mewakili kondisi psikologis warganya. Data depresi tertinggi di Jakarta menuntut adanya intervensi kesehatan publik yang lebih komprehensif, mulai dari upaya deteksi dini, peningkatan akses layanan kesehatan jiwa, hingga kampanye masif untuk melawan stigma agar masyarakat merasa aman dan termotivasi untuk mencari bantuan medis. Hal ini penting untuk memastikan bahwa warga Jakarta tidak hanya “bahagia” di atas kertas, tetapi juga benar-benar sehat secara mental.






