Nasional
Hakim Agung Gazalba Pakai KTP Kakak Kandung untuk Beli Alphard

JAKARTA (usmnews) – Kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Hakim Agung Gazalba Saleh kembali mencuat dengan temuan terbaru. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, terungkap bahwa Gazalba diduga menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) milik kakak kandungnya, Edi Ilham, untuk membeli sebuah mobil mewah Toyota Alphard.
Penggunaan KTP Edi Ilham ini mengundang perhatian khusus setelah Edi memberikan kesaksian di persidangan. Edi diperiksa tanpa disumpah karena adanya hubungan keluarga dengan Gazalba. Dalam sesi tanya jawab yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri, Edi mengkonfirmasi bahwa KTP-nya memang dipinjam oleh Gazalba untuk transaksi pembelian mobil.
“Jadi pinjam KTP untuk beli mobil Alphard?” tanya Fahzal pada Senin (5/8/2024). Edi menjawab, “Siap Yang Mulia.” Fahzal kemudian menanyakan lagi untuk memastikan, “Iya?” Edi kembali membenarkan, “Iya.”
Fahzal kemudian mengajukan pertanyaan mengenai alasan Gazalba meminjam KTP tersebut. Edi mengaku tidak mengetahui alasan pasti mengapa Gazalba membutuhkan KTP-nya untuk membeli mobil tersebut. Edi juga mengungkapkan bahwa ia tidak terlibat dalam urusan dengan dealer mobil dan belum pernah melihat nama yang tertera di STNK atau BPKB mobil Alphard berpelat nomor B 15 ABA.
Dalam kasus ini, penggunaan nominee atau orang terdekat sebagai perantara dalam transaksi finansial sering dianggap sebagai salah satu modus pencucian uang. Tujuan dari praktik ini adalah untuk menyembunyikan asal usul harta yang diduga berasal dari kegiatan ilegal.
Gazalba Saleh sendiri didakwa menerima gratifikasi dan melakukan TPPU senilai Rp 62,8 miliar terkait dengan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Salah satu penerimaan gratifikasi yang terungkap adalah sebesar Rp 650 juta yang diduga diterima bersama pengacara Ahmad Riyadh dari Wonokromo, Surabaya. Uang tersebut diduga berkaitan dengan pengurusan kasasi di MA atas nama Jawahirul Fuad.
Jaksa KPK Wahyu Dwi Oktafianto menegaskan, “Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Ahmad Riyadh menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 650.000.000 haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa,” dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 6 Mei 2024.