Nasional
Fenomena “The New Collar”: Mengapa Gen Z Kini Lebih Tergiur Jadi Tukang ketimbang Kejar Gelar Sarjana

Semarang (usmnews) – Dikutip cnbcindonesia.com Lanskap dunia kerja sedang mengalami pergeseran tektonik. Jika satu dekade lalu gelar sarjana dianggap sebagai tiket emas menuju kesuksesan, kini narasi tersebut mulai memudar di mata Generasi Z. Fenomena ini dipicu oleh satu faktor dominan: Pesatnya perkembangan Kecerdasan Buatan (AI). Banyak anak muda kini justru lebih memilih menekuni pekerjaan teknis atau menjadi “tukang” yang mengandalkan keterampilan fisik dibandingkan duduk di bangku kuliah untuk mengejar karier kantoran.
Ancaman AI terhadap Pekerjaan Kerah PutihAlasan utama di balik tren ini adalah rasa ketidakpastian terhadap masa depan pekerjaan administratif. AI telah membuktikan kemampuannya dalam melakukan tugas-tugas kognitif mulai dari pemrograman dasar, analisis data, hingga penulisan konten. Hal ini menciptakan kekhawatiran di kalangan Gen Z bahwa investasi waktu dan biaya yang besar untuk kuliah mungkin berakhir sia-sia jika pekerjaan yang mereka incar nantinya akan diotomatisasi.
Sebaliknya, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tangan dan kehadiran fisik seperti teknisi listrik, tukang kayu, tukang ledeng, hingga mekanik sangat sulit untuk digantikan oleh robot atau algoritma dalam waktu dekat. Pekerjaan ini memerlukan pemecahan masalah di lokasi yang spesifik, koordinasi motorik halus, dan adaptasi terhadap lingkungan fisik yang tidak terprediksi.
Faktor Ekonomi dan Beban Utang Selain ketakutan terhadap AI, faktor biaya pendidikan juga memainkan peran besar. Biaya kuliah yang terus melambung seringkali tidak sebanding dengan gaji awal lulusan baru (fresh graduate) di sektor korporat. Banyak Gen Z yang melihat kakak kelas mereka terjebak dalam utang pendidikan yang besar sementara gaji mereka stagnan.

Di sisi lain, sekolah vokasi atau pelatihan teknis menawarkan jalur yang lebih singkat dan murah menuju pasar kerja. Menariknya, permintaan akan tenaga terampil ini sedang melonjak tinggi sementara ketersediaannya (supply) sangat rendah. Akibatnya, upah untuk tenaga terampil profesional kini sangat kompetitif, bahkan seringkali melampaui gaji pekerja kantoran entry-level.
Pergeseran Budaya: Kebanggaan atas Kerja Fisik Ada juga pergeseran nilai tentang apa itu “pekerjaan keren.” Gen Z cenderung menghargai kemandirian dan hasil kerja yang nyata. Menjadi pengusaha di bidang jasa teknis memberikan mereka kontrol lebih besar atas waktu dan pendapatan mereka. Mereka melihat pekerjaan “kerah biru” bukan lagi sebagai pilihan terakhir, melainkan sebagai pilihan strategis untuk mencapai stabilitas finansial tanpa bayang bayang PHK massal akibat efisiensi teknologi.
Sebagai kesimpulan, fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z adalah generasi yang sangat pragmatis. Mereka lebih memilih menguasai keahlian yang “tahan banting” terhadap AI daripada mengejar prestise gelar akademik yang masa depannya kian abu-abu.







