Tech
Fenomena Konten “AI Slop” di YouTube: Indonesia Masuk Peringkat 10 Besar Global

Semarang (usmnews) – Dikutip dari tekno.kompas.com Dunia digital saat ini tengah menghadapi tantangan baru dengan munculnya gelombang konten berkualitas rendah yang dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan, atau yang lebih dikenal dengan istilah “AI Slop”. Istilah ini merujuk pada video-video yang diproduksi secara massal menggunakan teknologi AI, namun sering kali memiliki kualitas estetika dan narasi yang buruk, absurd, repetitif, serta minim makna. Berdasarkan laporan terbaru, platform YouTube kini mulai dibanjiri oleh konten semacam ini, dan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah penikmat terbesar di dunia.
Memahami Apa Itu AI Slop dan “Brainrot”

AI Slop merupakan produk dari kemudahan akses terhadap alat pembuat video berbasis AI. Konten ini biasanya dibuat dengan tujuan utama mengejar klik (clickbait) dan atensi tanpa mempedulikan nilai edukasi atau hiburan yang substansial. Ciri khas dari video AI Slop adalah visualnya yang sering kali terlihat aneh atau tidak logis, serta penggunaan suara sintetik yang monoton.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar sepertiga dari konten AI slop ini masuk dalam kategori “brainrot”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan konten yang sangat repetitif dan tidak masuk akal sehingga dikhawatirkan dapat merusak daya pikir dan kemampuan fokus penontonnya, terutama generasi muda yang menjadi konsumen utama platform video pendek maupun panjang.
Temuan Riset Kapwing
Sebuah studi komprehensif yang dilakukan oleh perusahaan pengeditan video, Kapwing, mengungkapkan data yang mengejutkan. Dalam risetnya, Kapwing menganalisis sekitar 15.000 kanal YouTube paling populer di seluruh dunia, dengan mengambil sampel 100 kanal teratas dari setiap negara. Hasil riset menunjukkan bahwa terdapat sedikitnya 278 kanal yang secara khusus didedikasikan untuk memproduksi konten AI slop.
Selain itu, Kapwing melakukan eksperimen dengan membuat akun YouTube baru untuk mengamati algoritma rekomendasi. Ditemukan bahwa dari 500 video pertama yang disarankan kepada pengguna baru, lebih dari 20 persen (sekitar 104 video) adalah konten AI slop. Hal ini mengindikasikan bahwa algoritma YouTube secara aktif mendorong konten-konten berkualitas rendah ini kepada audiens yang lebih luas.
Dampak Ekonomi yang Masif
Meski kualitasnya dipertanyakan, konten AI slop terbukti menjadi mesin pencetak uang yang sangat efektif bagi pembuatnya. Secara global, kanal-kanal yang memproduksi konten ini telah mengumpulkan lebih dari 63 miliar penayangan dan memiliki total pengikut mencapai 221 juta pelanggan.
Kapwing memperkirakan bahwa pendapatan iklan yang dihasilkan dari ekosistem AI slop ini mencapai angka fantastis, yakni sekitar 117 juta dollar AS atau setara dengan kurang lebih Rp 1,9 triliun per tahun. Sebagai contoh, kanal asal India bernama Bandar Apna Dost disebut sebagai salah satu pemimpin dalam kategori ini dengan raihan jumlah penayangan dan pendapatan yang sangat besar.
Posisi Indonesia dalam Peta AI Slop Dunia
Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat subur bagi konten AI slop. Indonesia menempati peringkat ke-10 di dunia sebagai negara dengan jumlah pelanggan kanal AI slop terbanyak, mencapai 8,57 juta subscriber. Jika dilihat dari jumlah penayangan, posisi Indonesia bahkan lebih tinggi, yakni berada di peringkat ke-9 global dengan total 1,7 miliar view.
Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menduduki posisi pertama sebagai pengonsumsi konten AI slop terbesar. Pesaing terdekatnya di kawasan ini adalah Vietnam, yang menempati peringkat ke-15 global dengan sekitar 4,37 juta pelanggan. Secara global, negara dengan pengikut AI slop terbanyak dipimpin oleh Spanyol (20,22 juta pelanggan), diikuti oleh Mesir dan Amerika Serikat.

Kesimpulan dan Implikasi
Kehadiran AI slop yang masif menjadi peringatan bagi ekosistem konten digital. Kemudahan teknologi AI dalam memproduksi konten secara instan justru berisiko menurunkan standar kualitas informasi dan hiburan di internet. Bagi Indonesia, tingginya angka penayangan dan pelanggan pada konten-konten semacam ini menunjukkan perlunya peningkatan literasi digital agar masyarakat lebih selektif dalam mengonsumsi konten yang bermanfaat dan berkualitas, bukan sekadar terjebak dalam pusaran konten “brainrot” yang tidak bermakna.







