International
Era baru Diplomasi Timur Tengah: Trump dan Ambisi “Dewan Perdamaian Gaza” 2026

Semarang (usmnews) Dikutip dari CNNIndonesia.com Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang panggung diplomasi internasional dengan sebuah pengumuman ambisius. Dalam pernyataannya di Gedung Putih pada Rabu (10/12/2025), Trump mengungkapkan rencananya untuk membentuk Dewan Perdamaian Gaza (Gaza Peace Council) yang dijadwalkan akan diresmikan pada awal tahun 2026. Langkah ini digadang-gadang sebagai komponen kunci dalam strategi Washington untuk mengakhiri konflik berkepanjangan dan menata ulang masa depan Jalur Gaza.
Visi Trump: Sebuah Koalisi “Legendaris”
Trump, dengan gaya retorikanya yang khas, tidak tanggung-tanggung dalam melabeli inisiatif ini. Ia menyebut bahwa Dewan Perdamaian ini akan menjadi “salah satu dewan paling legendaris yang pernah ada.” Pernyataan ini menyiratkan ambisi besar AS untuk tidak hanya sekadar menjadi mediator, melainkan menjadi arsitek utama dalam struktur pemerintahan baru di wilayah konflik tersebut.

Fungsi utama dari Dewan Perdamaian ini adalah bertindak sebagai badan pengawas (supervisory body) yang memberikan dukungan krusial bagi administrasi sipil di Gaza pasca-konflik. Tujuannya adalah memastikan stabilitas keamanan, mempercepat rekonstruksi, dan mencegah kembalinya kekuatan militan yang dapat memicu perang baru. Trump secara eksplisit menyatakan niatnya untuk memimpin langsung dewan ini, menegaskan betapa personal dan strategisnya isu ini bagi agenda kebijakan luar negerinya.
Komposisi Anggota: Tarik Ulur Kepentingan Global
Salah satu aspek paling menarik dari inisiatif ini adalah siapa yang akan duduk di meja perundingan. Trump mengklaim bahwa dewan ini akan diisi oleh “kepala negara-negara terpenting” di dunia, dan menurutnya, banyak pemimpin global yang berlomba-lomba untuk terlibat. Namun, realitas diplomasi di lapangan menunjukkan tantangan yang kompleks.
Isu mengenai keanggotaan dewan telah memicu perdebatan hangat. Nama mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, sempat mencuat sebagai kandidat kuat anggota dewan. Namun, laporan media pada Selasa (9/12) mengindikasikan bahwa pencalonan Blair telah ditolak mentah-mentah. Penolakan ini disinyalir kuat berasal dari negara-negara Arab dan Muslim yang masih memandang skeptis sosok Blair akibat perannya yang kontroversial dalam invasi Irak tahun 2003 serta kegagalannya saat menjabat sebagai utusan Kuartet Timur Tengah. Dinamika ini menunjukkan bahwa meskipun AS memegang kendali inisiatif, restu dari negara-negara regional—khususnya dunia Arab—tetap menjadi faktor penentu keberhasilan.

Tantangan Menuju 2026
Menjelang pengumuman resmi di awal 2026, tantangan terbesar bagi Trump adalah menyatukan berbagai kepentingan yang sering kali bertolak belakang. Israel menginginkan jaminan keamanan total, sementara pihak Palestina dan negara-negara Arab menuntut adanya jalan yang jelas menuju kedaulatan politik dan rehabilitasi ekonomi tanpa campur tangan asing yang berlebihan.
Keberhasilan pembentukan Dewan Perdamaian Gaza ini akan menjadi ujian besar bagi efektivitas diplomasi “transaksional” ala Trump. Jika berhasil, ini bisa menjadi terobosan bersejarah. Namun, jika gagal mengakomodasi sensitivitas regional—seperti yang terlihat dalam kasus penolakan Tony Blair—dewan ini berisiko hanya menjadi simbol politik tanpa taring yang nyata di lapangan. Dunia kini menanti detail cetak biru yang akan dipaparkan Washington dalam beberapa minggu mendatang.



