Nasional

Dikritik Karena Kenaikan Rp702 Juta, DPR Siapkan Aplikasi Publik untuk Laporan Reses

Published

on

Lembaga pemantau kinerja parlemen, Indonesian Parliamentary Center (IPC), secara terbuka menyatakan keraguan dan mempertanyakan lonjakan signifikan pada alokasi dana reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk periode 2024-2029. Kenaikan yang fantastis ini mencapai sekitar 75 persen, melonjak dari angka semula Rp400 juta per anggota pada periode sebelumnya menjadi Rp702 juta per anggota untuk setiap masa reses.

Peneliti IPC, Ahmad Hanafi, menegaskan bahwa setiap keputusan kenaikan dana, terutama yang berasal dari uang pajak rakyat, harus didukung oleh perhitungan yang konkret dan rasional, bukan hanya berdasarkan asumsi semata. Hanafi berargumen bahwa setiap rupiah yang diambil dari pajak masyarakat semestinya menghasilkan dampak balik yang berlipat ganda, bahkan hingga sepuluh kali lipat, kepada kesejahteraan rakyat. “Kenaikan seharusnya ada basis perhitungannya. Dan itu harus konkrit. Bukan asumsi. Setiap kenaikan satu rupiah dari pajak rakyat seharusnya dampaknya kembali kepada rakyat sepuluh kali lipat,” ujar Hanafi saat dihubungi pada hari Selasa (14/10).

IPC juga memberikan catatan kritis terhadap pola penggunaan dana reses selama ini. Menurut Hanafi, DPR dinilai tidak memiliki tata kelola yang baik dalam mengatur dan mengalokasikan dana reses. Salah satu masalah utama yang disoroti IPC adalah ketidakmampuan publik untuk mengakses laporan pertanggungjawaban dana reses, termasuk bagaimana aspirasi yang diserap ditindaklanjuti.

Atas dasar masalah transparansi yang kronis tersebut, IPC mempertanyakan justifikasi di balik keputusan menaikkan dana reses secara drastis, mengingat pelaksanaan dan pertanggungjawabannya selama ini masih terkesan tertutup. Hanafi menambahkan bahwa IPC telah lama mendesak DPR agar membuka secara transparan detail penggunaan dana reses dan semua laporan pertanggungjawabannya.

Ia berpandangan bahwa sistem anggaran lump sum (dana gelondongan) untuk reses, ditambah dengan perencanaan dan pertanggungjawaban yang tidak transparan, menciptakan peluang besar bagi penyimpangan dan potensi penyalahgunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan utama reses. Hanafi menyimpulkan, “Sepanjang persyaratan itu tidak dilakukan DPR, dana reses seberapa pun akan menimbulkan kecurigaan publik.”

Definisi reses sendiri adalah periode di mana anggota DPR menghentikan kegiatan sidang di kompleks parlemen, Jakarta, untuk kembali ke daerah pemilihan (dapil) guna menyerap aspirasi masyarakat dan melaksanakan berbagai kegiatan seperti bakti sosial. Total terdapat 580 anggota DPR yang mewakili 84 dapil di seluruh Indonesia. Reses umumnya dilaksanakan sebanyak 4 hingga 5 kali dalam setahun, dan dana reses diterima setiap kali masa reses tersebut tiba.

Kenaikan alokasi dana reses sebesar Rp702 juta per anggota ini tercatat berlaku per Mei 2025.

Menanggapi isu kenaikan yang hampir mencapai dua kali lipat tersebut, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tidak membantah angkanya. Dasco menjelaskan bahwa kenaikan itu terjadi karena adanya perubahan komponen, penambahan jumlah kegiatan, dan peningkatan jumlah titik kunjungan yang harus dilakukan anggota DPR di dapil mereka. Meskipun demikian, Dasco tidak memberikan rincian detail mengenai perbedaan atau indeks kenaikan yang spesifik. “Kemudian ada perubahan kenaikan indeks dan jumlah titik reses sehingga menyebabkan dia jadi Rp702 juta,” kata Dasco pada Sabtu (11/10).

Dasco juga mengakui kesulitan yang dihadapi DPR dalam mengatur dan membatasi kegiatan reses para anggotanya, sebab tidak ada parameter yang jelas mengenai definisi “menyerap aspirasi”. Ia mengungkapkan bahwa di lapangan, meski menggunakan istilah menyerap aspirasi, masyarakat seringkali memanfaatkan momentum reses untuk meminta bantuan konkret, seperti pembangunan fasilitas umum, bahkan permintaan uang saku untuk tim pemenangan.

Dasco mencontohkan, “Termasuk juga anggota DPR ini kan punya tim sukses nih, yang enggak digaji tapi dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaraan, mereka yang koordinir di daerah dan harus juga dikasih uang saku, misalnya gitu loh.” Ia mengklaim bahwa dengan besarnya tuntutan dari masyarakat, anggota DPR justru sering kali “nombok” atau terpaksa mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi kebutuhan tersebut. Kondisi ini, kata Dasco, menyulitkan DPR untuk membakukan kegiatan tersebut dalam sistem aplikasi pelaporan.

Untuk mengatasi masalah transparansi dan pelaporan ini, Dasco mengumumkan bahwa DPR saat ini sedang menyiapkan sebuah aplikasi khusus yang bersifat publik. Aplikasi ini akan berisi laporan kegiatan setiap anggota dewan selama masa reses, mencakup pertemuan-pertemuan mereka dengan masyarakat di dapil.

Dasco belum dapat memastikan kapan aplikasi tersebut rampung dan mulai digunakan, namun ia menekankan bahwa proyek aplikasi laporan reses ini sedang dikebut penyelesaiannya dalam waktu dekat. Melalui aplikasi ini, setiap anggota DPR diwajibkan melaporkan kegiatan reses mereka, dan masyarakat diharapkan dapat memantau laporan tersebut, sementara Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan melakukan pengawasan. “Saya lagi uberin, besok [red:hari ini] saya mau rapat lagi nih. Supaya nanti itu udah mulai bisa lah di-upload-upload gitu loh,” tutup Dasco.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version