Business
Deflasi 0,12% pada September 2024, Tren Deflasi Berlanjut 5 Bulan Berturut-turut

JAKARTA (usmnews) – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12%. Deflasi ini merupakan deflasi kelima secara berturut-turut sejak Mei 2024. Pada bulan September, Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93.
“Deflasi pada September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” jelas Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Amalia juga mengungkapkan bahwa deflasi beruntun seperti ini pernah terjadi pada tahun 1999, pasca krisis finansial Asia, dengan deflasi berlangsung selama tujuh bulan berturut-turut.
“Pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut selama bulan Maret 1999 sampai September 1999. Karena akibat dari penurunan harga beberapa barang pada saat itu, setelah diterpa inflasi yang tinggi,” jelasnya di Jakarta.
Deflasi beruntun lainnya tercatat terjadi pada Desember 2008 hingga Januari 2009, yang dipicu oleh penurunan harga minyak dunia.
“Periode deflasi lainnya juga pernah terjadi 2008 sampai 2009 itu bulan Desember 2008 sampai Januari 2009 ini karena turunnya harga minyak dunia,” kata Amalia.
Pada masa pandemi COVID-19, Indonesia juga mengalami deflasi berturut-turut dari Juli hingga September 2020.
“Dan di tahun 2020 pernah terjadi deflasi 3 bulan berturut-turut sejak Juli sampai dengan September 2020,” tambahnya.
Deflasi lima bulan berturut-turut kali ini menjadi yang terpanjang setelah deflasi tujuh bulan beruntun yang terjadi pasca krisis pada tahun 1999. Namun, Amalia menekankan pentingnya studi lebih lanjut untuk melihat apakah deflasi ini berkaitan dengan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk kita menghubungkan dengan apakah ada penurunan daya beli masyarakat, kita harus melakukan studi yang lebih dalam,” katanya.
Amalia juga menjelaskan bahwa BPS mencatat IHK berdasarkan harga yang diterima oleh konsumen, yang dipengaruhi oleh mekanisme pasar, terutama dari sisi suplai.
“Baik dari sisi, terutama dari sisi suplai atau sisi penawaran sehingga harga yang diterima oleh konsumen itu relatif turun karena suplainya meningkat ataupun limpahan pasokan karena panen, ataupun karena memang turunnya ongkos produksi,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa untuk melihat kondisi daya beli masyarakat, diperlukan studi lebih lanjut karena daya beli tidak bisa hanya dilihat dari sisi inflasi saja.
“Tentunya untuk mengambil kesimpulan apakah ini adalah menunjukan indikasi daya beli masyarakat, ini harus dilakukan studi lebih lanjut karena yang namanya penurunan daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor atau diambil kesimpulan hanya karena angka inflasi. Kita perlu lebih dalami lagi nanti,” tutup Amalia.
Dikutip dari laman detikFinance