Tech
AI di Dunia Akademik: Kemendikti saintek Rancang Mekanisme Pengawasan Berjenjang
Semarang(Usmnews)– Dikutip dari kompas.com Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti saintek) kini tengah memfokuskan perhatiannya pada penguatan tata kelola atau aturan main terkait pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) yang makin marak di dunia akademik Indonesia. Langkah strategis ini diambil untuk memastikan bahwa adopsi teknologi AI dapat berjalan secara etis dan bertanggung jawab. Tujuan utamanya adalah untuk membentengi dan melindungi integritas dalam penulisan karya ilmiah agar tidak terdegradasi oleh penggunaan teknologi canggih ini.
Ahmad Najib Burhani, selaku Direktur Jenderal Sains dan Teknologi Kemdiktisaintek, mengakui bahwa kehadiran AI dapat menjadi tantangan baru yang signifikan bagi proses pembelajaran dan tradisi penulisan ilmiah di perguruan tinggi. Ia menyoroti potensi disrupsi yang bisa ditimbulkan oleh AI jika tidak diatur dengan bijak.
“Oleh karena itu, kita perlu menyadarkan penulis tentang integritas penulisan,” tegas Ahmad Najib saat memberikan keterangan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada Selasa (11/12/2025), seperti dikutip dari Antara. Ia menambahkan bahwa upaya ini tidak bisa hanya dibebankan kepada penulis. Para pengelola jurnal ilmiah dan pimpinan kampus juga memegang peranan krusial dalam memastikan tegaknya tata kelola akademik yang baik dan berintegritas.
Lebih lanjut, Najib menjelaskan bahwa Kemendikti saintek sedang dalam proses penyiapan sebuah kebijakan berlapis yang dirancang khusus untuk mencegah penggunaan AI mengarah pada pelanggaran akademik. Kebijakan ini akan menyentuh beberapa level fundamental dalam ekosistem akademik.
Implementasi kebijakan tersebut akan dimulai dari lapisan pertama, yakni penguatan kesadaran di tiga pilar utama: penulis (mahasiswa/peneliti), pengelola jurnal, dan pihak kampus itu sendiri. Ketiganya harus memiliki pemahaman yang sama mengenai batasan etis penggunaan AI.
“Kedua, pengelola jurnal perlu memahami hal-hal yang terkait AI, model plagiasi [baru], dan sebagainya,” ujar Najib. Hal ini penting agar editor dan peninjau jurnal memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi karya yang mungkin dihasilkan secara tidak etis menggunakan AI.
Lapisan ketiga, lanjutnya, adalah keharusan bagi setiap kampus untuk memiliki unit independen seperti Komite Integritas Akademik. “Dan terakhir, kementerian akan turun [tangan] jika tidak dapat diselesaikan pihak kampus,” tambahnya, menandakan bahwa kementerian akan bertindak sebagai otoritas final jika terjadi kebuntuan atau pelanggaran berat di tingkat institusi.
Selain kebijakan berlapis, mekanisme pemantauan terhadap tulisan yang dihasilkan AI juga akan dirancang secara berjenjang. “Pemantauannya nanti ada level-levelnya, dari pengelola jurnal, dari penulisnya sendiri, dari kampus, dan sebagainya,” jelas Najib.
Ia menutup pernyataannya dengan menekankan prinsip fundamental bahwa manusia harus selalu menjadi pusat (human-centric) dalam setiap pemanfaatan dan penerapan teknologi. AI harus diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengganti proses intelektual manusia. “Kemendikti saintek akan terus memperkuat literasi digital dan integritas akademik untuk memastikan inovasi teknologi tetap sejalan dengan nilai budaya dan kemanusiaan bangsa,” pungkasnya.