Nasional
Krisis Bahan Bakar Melanda Medan: Dampak Banjir Mengakibatkan Harga Bensin Eceran Meroket hingga Rp50 Ribu per Liter

Medan (usmnews) di kutip dari CNNindonesia kini tengah menghadapi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang serius, sebuah dampak ikutan yang parah dari bencana banjir yang baru-baru ini melanda. Bencana alam tersebut tidak hanya merusak infrastruktur perumahan dan mengakibatkan korban jiwa, tetapi juga secara signifikan memutus sejumlah jalur distribusi utama, yang merupakan arteri vital dalam pengiriman BBM ke berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh kota.
Kondisi ini telah menciptakan situasi kepanikan massal di kalangan warga. Kelangkaan pasokan BBM memicu antrean panjang yang mengular dan tidak terhindarkan di hampir semua SPBU. Laporan dari berbagai lokasi menunjukkan pemandangan serupa: ratusan kendaraan roda dua maupun roda empat berdesakan, berebut mendapatkan jatah bahan bakar yang semakin menipis. Lokasi-lokasi seperti Jalan Medan Johor, Jalan Tembung, Jalan HM Yamin, Jalan Letda Sujono, Jalan Merak Jingga, dan Jalan Delitua menjadi saksi bisu betapa frustrasinya warga yang harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengisi tangki kendaraan mereka. Antrean ini bahkan meluber hingga ke badan jalan utama, memperburuk kemacetan lalu lintas dan meningkatkan risiko kecelakaan di tengah kondisi kota yang masih belum pulih.
### Dampak Sosial dan Kenaikan Harga yang Ekstrem
Konsekuensi paling mencolok dari kelangkaan ini adalah meroketnya harga BBM eceran di pinggir jalan. Untuk mengatasi kebutuhan mendesak, banyak warga terpaksa berpaling ke penjual bensin eceran yang oportunis. Namun, praktik ini datang dengan harga yang sangat mencekik.
Seperti yang dialami oleh **Wulan**, seorang warga Medan Johor. Ia mengungkapkan betapa melelahkannya harus berhadapan dengan antrean panjang di SPBU. “Antriannya panjang sekali, sampai ke badan jalan,” keluhnya. Setelah mencoba dan gagal mendapatkan BBM di SPBU, Wulan merasa tidak punya pilihan selain membeli dari pedagang eceran. Ia terpaksa merogoh kocek sebesar **Rp50.000 per liter** hanya untuk memastikan motornya tetap bisa beroperasi, mengingat kebutuhan untuk tetap bekerja di tengah kota yang perlahan mulai bergerak kembali.
Kisah serupa datang dari **Hasbi**, seorang kurir pengantar barang. Sebagai tulang punggung ekonomi yang bergantung penuh pada mobilitas, kelangkaan BBM adalah ancaman langsung terhadap mata pencahariannya. Untuk memastikan dia dapat terus menjalankan pekerjaannya sehari-hari mengantar barang ke pelanggan, Hasbi harus membuat strategi darurat, yaitu menyetok BBM di botol air mineral. Situasi ini menunjukkan tingkat keputusasaan dan adaptasi warga untuk bertahan di tengah krisis.
Hasbi juga menyoroti kejanggalan harga yang melonjak tidak wajar dalam waktu singkat. Ia membandingkan bahwa harga Pertalite eceran yang sebelumnya masih berada di kisaran Rp15.000 per liter, kini telah melambung tajam hingga **Rp45.000 per liter**. Peningkatan harga yang mencapai lebih dari 300% ini menimbulkan pertanyaan besar di benak warga, terutama karena ia melihat penjual eceran seolah tidak kehabisan stok, sementara SPBU-SPBU resmi justru terlihat kosong. Fenomena ini mengindikasikan kemungkinan adanya penimbunan atau praktik spekulasi yang memanfaatkan situasi darurat pascabencana.
Frustrasi warga juga diungkapkan oleh **Mulkan**, yang telah menghabiskan berjam-jam dalam antrean. Ia menyaksikan bagaimana kondisi panik memicu kemarahan di antara para pengantre. Mulkan juga menyampaikan keheranannya terhadap kebijakan Pertamina yang, di tengah krisis dan antrean panjang motor-motor pribadi, masih tetap melayani pembelian menggunakan jerigen. Praktik ini, menurutnya, seharusnya ditinjau ulang agar pasokan yang ada bisa diprioritaskan untuk pengguna kendaraan umum dan pribadi yang sangat membutuhkan untuk mobilitas sehari-hari.
### Respons dan Janji Pertamina
Menanggapi situasi genting ini, pihak Pertamina melalui **Tito Rivanto**, Sales Area Manajer Retail Pertamina Medan, membenarkan adanya kendala distribusi yang ekstrem. Ia menjelaskan bahwa akar masalah utama adalah akses jalan menuju SPBU yang masih terendam banjir atau rusak akibat bencana. Hambatan logistik inilah yang menyebabkan keterlambatan dalam pengiriman stok BBM.

Meski demikian, Tito Rivanto berusaha menenangkan masyarakat dengan menjanjikan bahwa perusahaan berkomitmen untuk melakukan distribusi secara maksimal. Ia menegaskan bahwa suplai BBM diyakini akan kembali normal dalam waktu dekat.
“Kami komitmen untuk distribusi maksimal ke SPBU,” ujar Rivanto. “Kami harap masyarakat tidak panik dan membeli secukupnya saja sesuai kebutuhan karena dua atau tiga hari ke depan suplai ke SPBU lancar. Agar situasi kondusif bisa terwujud di Medan.”
Pernyataan ini merupakan upaya Pertamina untuk meredam kepanikan *panic buying* yang justru bisa memperburuk kelangkaan. Pihak Pertamina berharap masyarakat dapat menahan diri dan tidak melakukan pembelian berlebihan yang pada akhirnya hanya akan memperpanjang antrean dan krisis.
Secara keseluruhan, krisis BBM di Medan pascabanjir ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana bencana alam dapat memicu serangkaian krisis sekunder, mulai dari masalah logistik, melonjaknya harga kebutuhan pokok (seperti yang dilaporkan juga terjadi pada harga cabai merah), hingga munculnya praktik-praktik spekulasi yang merugikan masyarakat. Pemulihan kota tidak hanya memerlukan perbaikan infrastruktur, tetapi juga penormalan rantai pasok energi yang menjadi urat nadi utama kehidupan sosial dan ekonomi.







