International
Titik Balik Dramatis: Sheikh Hasina Divonis Mati In Absentia atas Kejahatan Kemanusiaan

Semarang (usmnews) – Dalam sebuah putusan yang mengguncang lanskap politik Asia Selatan, mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, telah dijatuhi hukuman mati. Vonis bersejarah ini dijatuhkan oleh Pengadilan Kejahatan Internasional (International Crimes Tribunal/ICT) di Dhaka dalam sebuah persidangan yang digelar secara in absentia, karena Hasina saat ini berada dalam pengasingan di India.
Putusan ini menandai puncak dramatis dari kejatuhan politiknya, yang dimulai dengan penggulingannya dari kekuasaan pada Agustus 2024 lalu.
Hukuman mati terhadap Sheikh Hasina, yang memimpin Bangladesh selama hampir 16 tahun, bukanlah akibat dari kasus korupsi politik biasa. Pengadilan menyatakan ia bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tuduhan utama berpusat pada perannya sebagai “dalang” dan “komandan superior” dalam tindakan keras aparat keamanan yang brutal terhadap gerakan protes massal yang dipimpin mahasiswa pada Juli-Agustus 2024. Persidangan menemukan bukti bahwa Hasina terbukti secara sah melakukan penghasutan, memberikan perintah untuk membunuh, dan gagal mengambil tindakan untuk mencegah kekejaman yang meluas.
Menurut temuan pengadilan dan laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tindakan keras tersebut mengakibatkan tewasnya sedikitnya 1.400 orang. Pengadilan merinci beberapa insiden spesifik, termasuk penembakan terhadap pengunjuk rasa tidak bersenjata di Chankharpul, Dhaka, dan pembunuhan brutal terhadap mahasiswa di Ashulia, di mana beberapa korban dilaporkan dibakar untuk menghilangkan jejak.
Bersamaan dengan Hasina, mantan Menteri Dalam Negeri, Asaduzzaman Khan Kamal, juga divonis mati, sementara mantan kepala polisi nasional dijatuhi hukuman penjara.
Vonis ini tidak dapat dipisahkan dari revolusi mahasiswa yang menggulingkan pemerintahannya. Protes yang awalnya dipicu oleh reformasi kuota pekerjaan dengan cepat berubah menjadi gerakan nasional melawan pemerintahan Hasina yang dianggap semakin otoriter, korup, dan menekan perbedaan pendapat.
Ketika protes mencapai puncaknya pada Agustus 2024, Sheikh Hasina melarikan diri dari negara itu dengan helikopter dan mencari perlindungan di negara tetangga, India. Sejak itu, pemerintahan sementara Bangladesh, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Dr. Muhammad Yunus, telah memulai upaya akuntabilitas besar-besaran untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Ironisnya, Pengadilan Kejahatan Internasional (ICT) yang menjatuhkan vonis ini adalah lembaga yang didirikan oleh pemerintahan Sheikh Hasina sendiri pada tahun 2010, yang awalnya bertujuan untuk mengadili kejahatan perang selama Perang Kemerdekaan Bangladesh tahun 1971.
Putusan ini telah memicu reaksi yang sangat terpolarisasi. Di dalam negeri, pemerintah sementara pimpinan Dr. Yunus menyambut baik putusan tersebut sebagai penegasan bahwa “tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum”. Para pendukung gerakan mahasiswa dan partai oposisi merayakan putusan itu sebagai bentuk keadilan bagi para korban.
Sebaliknya, Sheikh Hasina, berbicara dari pengasingan, mengecam persidangan itu sebagai “lelucon yudisial” dan “bias serta bermotif politik,” dengan tuduhan bahwa ia tidak diberi kesempatan yang adil untuk membela diri.
Secara internasional, PBB telah menyatakan penyesalannya atas penggunaan hukuman mati, menegaskan posisinya yang menentang hukuman mati dalam situasi apa pun. Sementara itu, India berada dalam posisi diplomatik yang sulit. Pemerintah Bangladesh telah secara resmi menuntut ekstradisi Hasina, namun New Delhi, yang merupakan sekutu lama Hasina, diperkirakan tidak akan menyerahkannya, terutama setelah adanya vonis mati.






