Connect with us

Education

Di Balik Isu Rokok dan Kebohongan: Sekolah Butuh Terapi Kesehatan Mental, Bukan Sekadar Sanksi Hukum

Published

on

Peristiwa memilukan yang kembali terjadi di salah satu institusi pendidikan di Jakarta, di mana seorang kepala sekolah menjatuhkan hukuman fisik berupa tamparan kepada seorang murid karena kedapatan merokok dan terindikasi sering berbohong, telah memicu gelombang perdebatan sengit dan mengungkap luka mendalam dalam sistem pendidikan nasional. Reaksi berantai dari insiden tersebut sangat mengkhawatirkan: murid yang merasa dipermalukan melaporkannya kepada orang tua, yang kemudian berlanjut ke ranah kepolisian, dan puncaknya, ratusan siswa, tepatnya 630 orang, memilih mogok belajar sebagai ekspresi solidaritas terhadap teman mereka yang dihukum. Kejadian ini secara telanjang memperlihatkan bagaimana sekolah, yang seharusnya menjadi benteng pembentukan karakter dan moralitas, kini malah menjelma menjadi panggung konflik yang kompleks, mempertemukan isu disiplin, luapan emosi, dan hilangnya empati.

Inti dari permasalahan ini jauh melampaui sekadar insiden tamparan atau pelanggaran merokok semata. Peristiwa ini adalah sebuah cermin yang memantulkan tiga krisis fundamental yang semakin mengakar di lingkungan pendidikan: krisis penegakan hukum, krisis moral, dan krisis kesehatan mental kolektif.

Pelanggaran Hukum dan Dilema Penegakan Aturan Anti-Rokok

Merokok di kawasan sekolah bukanlah pelanggaran sepele; ia adalah pelanggaran hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara eksplisit menetapkan sekolah sebagai salah satu dari tujuh kawasan wajib tanpa rokok. Konsekuensi hukum atas pelanggaran ini tidak main-main, di mana Pasal 437 ayat (2) mengancam denda hingga Rp 50 juta bagi siapa saja yang melanggar ketentuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sebagai penanggung jawab tertinggi, kepala sekolah sesungguhnya memiliki landasan hukum yang kuat—sesuai Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 64 Tahun 2015—untuk memberikan teguran atau sanksi disiplin. Tindakan siswa yang merokok, dengan kandungan zat adiktif yang merusak diri sendiri dan mencemari udara bersih, jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan etika pendidikan. Namun, celah muncul karena implementasi dan penegakan aturan ini di lapangan seringkali terbentur tembok persoalan.

Guru dalam Jerat Dilema Hukum dan Moral

Di sisi lain, tindakan kepala sekolah yang melibatkan kekerasan fisik, meski dilatarbelakangi niat mendisiplinkan, tidak dapat dibenarkan di mata hukum. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas mewajibkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, di satuan pendidikan. Para pendidik kini terperangkap dalam dilema yang sangat berat: di satu sisi mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan disiplin dan etika; di sisi lain, setiap tindakan keras dan emosional dapat dengan mudah berujung pada laporan polisi, proses hukum yang melelahkan, dan penghakiman publik.

Situasi ini adalah indikasi nyata kegagalan sistemik dalam pendidikan karakter. Kecanduan merokok siswa yang berujung pada kebiasaan berbohong adalah bukti bahwa sekolah terlalu terobsesi dengan pencapaian akademik (nilai) namun melupakan dimensi esensial pembentukan emosi, moral, dan spiritualitas siswa. Guru menjadi korban dari ekspektasi ganda yang kontradiktif, memicu kelelahan mental yang akut.

Solidaritas Semu dan Krisis Komunikasi

Aksi mogok belajar massal yang melibatkan 630 siswa—sebagai bentuk ‘solidaritas’—menjadi penanda paling jelas dari pergeseran nilai moral di kalangan pelajar. Solidaritas sejati seharusnya lahir dari kesadaran etis untuk membela kebenaran, bukan pembelaan buta terhadap sebuah pelanggaran yang jelas. Fenomena ini menggarisbawahi kegagalan krusial dalam komunikasi yang sehat antara sekolah dan siswa. Murid gagal memahami kerangka hukum dan etika dari larangan merokok, sementara pihak sekolah, melalui tindakan represif, gagal membangun jembatan emosional dan rasa percaya. Ketika komunikasi terputus, empati menghilang, digantikan oleh resistensi, perlawanan kolektif, dan rasa frustrasi yang meluas.

Pentingnya Terapi Kesehatan Mental Massal: Solusi Hipnoterapi Edukatif

Melihat situasi di mana baik guru maupun siswa sama-sama menunjukkan tanda-tanda kehilangan kendali emosi, krisis ini harus diakui sebagai gangguan keseimbangan mental kolektif di lingkungan sekolah. Pemulihan tidak akan tuntas hanya dengan sanksi administratif, tetapi memerlukan intervensi psikologis yang mendalam dan terapi sosial.

Langkah maju yang paling konkret adalah mengimplementasikan program terapi kesehatan mental massal, menjadikannya bagian dari proses penyembuhan (healing process) seluruh warga sekolah, bukan sebagai bentuk hukuman tambahan. Di antara berbagai pendekatan psikologis yang ada, hipnoterapi muncul sebagai metode ilmiah dan humanistik yang sangat relevan. Menurut Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti dari UGM, pendekatan transpersonal clinical hypnosis terbukti efektif dalam meningkatkan kesembuhan fisik dan kesejahteraan mental.

Dalam konteks sekolah, educational hypnotherapy (hipnoterapi edukatif) dapat diterapkan secara kelompok untuk menenangkan kondisi emosional yang tegang, meningkatkan kepercayaan diri, dan menumbuhkan kesadaran moral tanpa unsur paksaan atau penghakiman. Siswa dapat dibimbing untuk menyadari konsekuensi kecanduan merokok dan kebiasaan berbohong, sementara guru dapat dilatih untuk mengelola emosi mereka sendiri sebelum merespons pelanggaran. Hal ini sangat krusial mengingat hipnoterapi adalah disiplin ilmiah yang wajib dilakukan oleh profesional tersertifikasi dan diakui negara, bahkan didukung oleh organisasi profesi seperti PKHI.

Kasus penamparan ini harus menjadi momentum refleksi kolektif. Pendidikan sejati tidak berhenti pada aturan dan sanksi, tetapi harus menembus dimensi kesadaran batin dan emosi. Memaafkan yang hanya di permukaan, tanpa penyembuhan luka batin yang sesungguhnya, hanya akan menyisakan trauma kolektif di sekolah. Dengan dukungan hipnoterapi, sekolah dapat bergerak dari sekadar menghukum pelanggaran menjadi menyembuhkan luka batin, mengembalikan fungsi sekolah sebagai ruang aman, damai, dan manusiawi di mana kejujuran, tanggung jawab, dan empati menjadi nilai-nilai yang utama. Tindakan menampar fisik memang salah, tetapi jauh lebih berbahaya jika kita menampar kesadaran moral generasi muda dengan ketidakpedulian dan kegagalan dalam berempati.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *