Nasional
Wacana Redenominasi Rupiah: Harapan Penyederhanaan dan Potensi Inflasi

Jakarta (usmnews) di kutip dari kompas.com Wacana mengenai **redenominasi Rupiah**, atau penyederhanaan nominal mata uang Indonesia, kembali mencuat ke permukaan. Rencana ini, yang bertujuan untuk menghilangkan beberapa angka nol dari mata uang tanpa mengubah daya beli riil masyarakat, memicu beragam respons dan diskusi, termasuk di kalangan legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi XI DPR RI, **Eric Hermawan**, memberikan pandangannya, menjabarkan baik **dampak positif maupun negatif** yang mungkin timbul dari pelaksanaan rencana strategis ini.
### 👍 Dampak Positif: Kemudahan Transaksi dan Pencatatan
Eric Hermawan menyoroti beberapa keuntungan signifikan dari redenominasi. Inti dari manfaat ini adalah **efisiensi dan kepraktisan**. Dengan menyederhanakan nominal, misalnya, mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1, mata uang akan menjadi **lebih simpel** dan **mudah dibelanjakan**.
> “Dampak baiknya: simpel dan mudah dibelanjakan serta sederhana dalam pencatatan,” ungkap Eric kepada *Kompas.com*.
Kemudahan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum dalam transaksi sehari-hari, tetapi juga oleh dunia usaha. Proses akuntansi, pembukuan, dan pencatatan keuangan akan menjadi jauh **lebih sederhana** karena berkurangnya jumlah digit yang harus diolah. Perusahaan dan lembaga keuangan akan menghemat waktu dan potensi kesalahan yang diakibatkan oleh penggunaan nominal yang sangat besar. Selain itu, secara psikologis, mata uang dengan nominal yang lebih kecil seringkali memberikan citra **stabilitas dan kekuatan ekonomi** di mata global.
—

### ⚠️ Dampak Negatif dan Ancaman Inflasi
Di balik kemudahan yang ditawarkan, Eric Hermawan memberikan peringatan keras mengenai **risiko dan dampak buruk** yang mengintai. Kekhawatiran terbesar berpusat pada potensi **ketidakstabilan harga** dan **lonjakan inflasi** jika prosesnya tidak ditangani dengan sangat hati-hati.
> “Dampak buruknya: jika tidak hati-hati dalam sosialisasi dan pelaksanaan, maka akan menjadi penyebab inflasi, dan tidak menentunya mata uang rupiah,” lanjutnya.
Salah satu mekanisme utama yang berpotensi memicu inflasi adalah isu **pembulatan harga** (*rounding*). Eric mencontohkan, jika suatu barang saat ini dihargai Rp 1.200 dan aturan redenominasi menghapuskan tiga nol, secara matematis harga idealnya adalah Rp 1,2. Namun, dalam implementasi praktis, pedagang kemungkinan besar akan **membulatkan harga tersebut ke atas**, menjadi Rp 2, bukan Rp 1, karena menghilangkan nilai Rp 200 dianggap merugikan.
> “Redenominasi ini kan pembulatan Rp 1.000. Misal harga Aqua Rp 1.200, maksimal akan dijual Rp 1. Rp 200-nya kemana? Maka akan dinaikkan Rp 2, sehingga harga-harga naik. Terjadi inflasi. Ini jadi masalah,” tegas Eric.
Kenaikan harga barang yang terpaksa terjadi karena pembulatan ke atas pada banyak komoditas inilah yang secara kolektif akan **mendorong laju inflasi**, mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan, dan bahkan dapat menimbulkan **kegaduhan pasar** jika masyarakat gagal memahami esensi dari penyederhanaan nominal tersebut. Kegagalan sosialisasi dan persiapan yang matang juga berisiko menimbulkan **ketidakpastian** dan **ketidakpercayaan** terhadap nilai mata uang Rupiah itu sendiri.
—
### 🗓️ Proses Panjang dan Persiapan Matang
Mengingat risiko yang tinggi, legislator DPR ini **mendorong Pemerintah untuk melakukan persiapan yang komprehensif** sebelum merealisasikan redenominasi Rupiah. Eric menekankan bahwa redenominasi bukanlah proses instan, melainkan memerlukan tahapan yang sangat panjang dan terstruktur sebelum dapat diimplementasikan.

> “Memungkinkan dilakukan redenominasi. Namun langkah-langkah untuk menuju redenominasi cukup panjang. Mulai menyiapkan UU, peraturan Bank Indonesia, peraturan Kemenkeu, dan tata teknis pelaksanaan,” papar Eric.
Redenominasi membutuhkan **payung hukum yang kuat**, diawali dengan penyusunan **Undang-Undang (UU)** yang mengatur perubahan harga Rupiah. Selanjutnya, harus diikuti dengan **Peraturan Bank Indonesia** (BI) dan **Peraturan Kementerian Keuangan (Kemenkeu)**, serta penyusunan **prosedur teknis pelaksanaan** yang sangat detail dan masif.
Wacana ini sendiri diketahui kembali mengemuka di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan (Menkeu) **Purbaya Yudhi Sadewa**. Rencana ini secara eksplisit tercantum dalam **Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025** tentang Rencana Strategis Kemenkeu periode 2025–2029, yang baru ditetapkan pada 10 Oktober 2025. Beleid tersebut menugaskan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan untuk menyusun **Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi)**.
Meskipun sudah masuk dalam rencana strategis, PMK 70/2025 mengindikasikan bahwa RUU ini merupakan **RUU luncuran** yang *direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2027*, menandakan bahwa proses implementasinya masih **jauh dari terealisasi** dalam waktu dekat. Bahkan, pihak Istana melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) **Prasetyo Hadi** telah memberikan tanggapan terkait rencana redenominasi ini, yang semakin menunjukkan bahwa rencana ini telah menjadi agenda nasional yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.
Kesimpulannya, sementara redenominasi menjanjikan **kesederhanaan dan efisiensi** dalam sistem moneter, keberhasilannya sangat bergantung pada **kecermatan persiapan, sosialisasi yang masif, dan mitigasi risiko inflasi** yang terencana dengan baik. Tanpa persiapan yang matang, niat baik penyederhanaan dapat berbalik menjadi bumerang ekonomi yang merugikan masyarakat.







