International
Topan Kalmaegi Sebabkan Bencana Maut di Filipina, Korban Tewas Capai 100 Jiwa

Jakarta (usmnews) – Dikutip dari detiknews Filipina tengah menghadapi duka mendalam pasca-amukan Topan Kalmaegi, yang telah menyebabkan jumlah korban jiwa meningkat drastis. Hingga hari Rabu, 5 November, otoritas setempat telah mengkonfirmasi bahwa setidaknya 100 orang telah meninggal dunia akibat bencana alam ini.Dampak paling parah dan mematikan dirasakan di Provinsi Cebu, yang kini dilaporkan mengalami bencana banjir terburuk dalam catatan sejarahnya.Banjir kataklismik tersebut, yang oleh para pejabat dan warga digambarkan sebagai peristiwa yang “belum pernah terjadi sebelumnya”, menerjang berbagai kota di provinsi tersebut pada hari Selasa (4/11).
Skala kehancuran yang ditimbulkan sangat masif, arus air yang deras dilaporkan tidak hanya merendam permukiman, tetapi juga menyapu bersih apa pun yang dilaluinya. Kendaraan roda empat, gubuk-gubuk rentan yang banyak berdiri di bantaran sungai, dan bahkan kontainer pengiriman berukuran raksasa terlihat hanyut terseret banjir bah.Perkembangan terbaru mengenai jumlah korban disampaikan oleh juru bicara Provinsi Cebu, Rhon Ramos. Dalam keterangannya kepada kantor berita AFP pada hari Rabu (5/11/2025), Ramos membenarkan penemuan 35 jenazah di area terdampak banjir di Liloan.

Kota Liloan sendiri merupakan bagian dari wilayah metropolitan yang lebih luas dari ibu kota provinsi, Kota Cebu. Penemuan tragis ini secara signifikan menambah total angka kematian di Provinsi Cebu saja menjadi 76 orang.Situasi tak kalah mengerikan dilaporkan dari pulau tetangga, Pulau Negros. Di wilayah ini, setidaknya 12 orang dipastikan tewas sementara 12 lainnya masih berstatus hilang dan dalam pencarian. Tragedi di Negros, khususnya di Kota Canlaon, diperparah oleh bencana sekunder yang dipicu oleh topan.Letnan Polisi Stephen Polinar menjelaskan bahwa hujan ekstrem yang dibawa Topan Kalmaegi berinteraksi dengan kondisi geologis lokal.
Sisa material vulkanik dari letusan Gunung Kanlaon tahun lalu, yang mengendap di lereng atas gunung, luruh akibat diguyur hujan deras. Campuran air dan material vulkanik ini menciptakan aliran lumpur (lahar dingin) yang mematikan, yang kemudian “bergemuruh turun ke desa-desa” dan mengubur rumah-rumah penduduk.Sehari sebelumnya, pada Selasa (4/11), Gubernur Cebu, Pamela Baricuatro, telah menyuarakan keprihatinannya, menyebut situasi yang dihadapi wilayahnya sebagai sesuatu yang “menghancurkan” dan “belum pernah terjadi sebelumnya”.

Bencana ini kembali menyoroti peringatan dari para ilmuwan iklim. Mereka telah lama menegaskan bahwa badai tropis menjadi lebih kuat dan berbahaya akibat perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia. Pemanasan global menyebabkan suhu lautan meningkat, yang berfungsi sebagai “bahan bakar” yang memungkinkan topan mengalami intensifikasi cepat. Selain itu, atmosfer yang lebih hangat mampu menahan lebih banyak uap air, yang kemudian dilepaskan sebagai curah hujan dengan intensitas yang jauh lebih ekstrem.Sebagai langkah antisipatif, pemerintah Filipina telah melakukan evakuasi terhadap hampir 800.000 orang yang tinggal di jalur lintasan topan. Filipina, sebagai negara kepulauan, memang secara rutin menghadapi ancaman ini. Rata-rata 20 badai dan topan melanda negara itu setiap tahun, seringkali menghantam daerah-daerah rawan bencana di mana jutaan warganya hidup dalam kemiskinan, membuat mereka semakin rentan terhadap dampak bencana.







