International
Sentimen Anti-China yang Meningkat di Afrika: Studi Kasus Kerusuhan Madagaskar

Jakarta (usmnews) di kutip dari Sindonews Unjuk rasa dan kekerasan yang terjadi di **Madagaskar** pada bulan Oktober 2025 telah menjadi sorotan utama, secara dramatis mengungkap dan memperkuat narasi tentang **meningkatnya sentimen negatif terhadap China di seluruh benua Afrika**. Peristiwa yang berpusat di ibu kota, **Antananarivo**, ini tidak hanya bermula dari isu-isu domestik seperti krisis listrik, kelangkaan air, dan tingginya biaya hidup, tetapi dengan cepat bermetamorfosis menjadi luapan kemarahan yang ditargetkan secara spesifik pada **bisnis-bisnis dan aset milik investor China**. Kekacauan yang menghancurkan sejumlah distrik dan properti komersial ini menandai sebuah titik balik penting di mana frustrasi terhadap kegagalan tata kelola domestik berpadu dengan kemarahan yang mendalam terhadap apa yang dianggap sebagai **dominasi dan eksploitasi ekonomi asing**, khususnya yang dilakukan oleh entitas-entitas dari Republik Rakyat China.
Fenomena ini muncul pada saat yang genting bagi hubungan China-Afrika. Kemitraan yang selama dua dekade terakhir digembar-gemborkan sebagai hubungan **”saling menguntungkan”** dan model pembangunan **win-win**, kini semakin sering dikritik sebagai hubungan yang sarat dengan **ketimpangan struktural**, **praktik eksploitasi**, dan pemicu **rasa ketidaksukaan** yang meluas di antara masyarakat lokal. Madagaskar menjadi contoh nyata bagaimana proyek-proyek dan investasi besar dari Beijing, yang seharusnya membawa kemakmuran, justru memicu ketegangan sosial yang eksplosif. Bisnis-bisnis China diketahui telah mengambil alih kendali di berbagai sektor kunci perekonomian Madagaskar, menciptakan persepsi di kalangan masyarakat bahwa keuntungan ekonomi dari sumber daya dan pasar mereka terutama mengalir ke luar, bukan untuk kepentingan nasional.
### Implikasi Regional dan Ketegangan yang Meluas
Peristiwa di Madagaskar bukanlah insiden yang terisolasi; sebaliknya, ia adalah **simptom dari pola ketegangan yang lebih luas** yang menjangkiti banyak negara di Afrika. Sentimen anti-China ini terwujud dalam berbagai bentuk di seluruh benua, mencerminkan kekecewaan yang semakin mendalam terhadap model keterlibatan Tiongkok:

* **Zambia:** Para pekerja lokal secara konsisten menyuarakan protes keras mengenai **kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan standar keselamatan yang dipertanyakan** di pabrik-pabrik dan fasilitas milik perusahaan China. Isu ini sering kali diperburuk oleh tuduhan diskriminasi rasial dan manajemen yang otoriter.
* **Kenya:** Di sini, fokus utama kritik adalah pada **transparansi utang** dan implikasi jangka panjang dari proyek-proyek infrastruktur besar yang didanai melalui inisiatif **Belt and Road Initiative (BRI)**. Masyarakat sipil dan oposisi politik menuntut kejelasan mengenai persyaratan pinjaman yang membebani, khawatir negara mereka terjebak dalam **jebakan utang** yang dapat mengancam kedaulatan ekonomi.
* **Nigeria:** Komunitas yang tinggal di sekitar area pertambangan, yang sering dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan China, melaporkan serangkaian masalah serius, termasuk **kerusakan lingkungan** yang signifikan, **polusi air dan tanah**, serta **penggusuran paksa** yang dilakukan tanpa kompensasi yang adil.
Rangkaian insiden ini secara kolektif mengindikasikan **kekecewaan yang meluas terhadap BRI**. Inisiatif yang awalnya menjanjikan dorongan besar dalam pembangunan infrastruktur dan penciptaan kesejahteraan, kini justru dipandang oleh banyak pihak sebagai mekanisme yang dapat menghasilkan **ketergantungan ekonomi** dan memperburuk **ketimpangan sosial-ekonomi** di tingkat akar rumput.

### Mempertanyakan Model Pembangunan Tiongkok
Kekerasan di Madagaskar memaksa dilakukannya evaluasi ulang yang serius terhadap sifat dan konsekuensi jangka panjang dari **pengaruh China di Afrika**. Model pembangunan yang diterapkan Beijing, yang sering kali menekankan pada **pinjaman *state-to-state*** dan minimnya persyaratan tata kelola atau lingkungan, kini dipertanyakan validitas moral dan keberlanjutannya. Kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini, yang menghindari intervensi dalam urusan domestik, secara tidak sengaja dapat mendukung rezim yang buruk dan memperburuk masalah korupsi dan transparansi yang sudah ada, seperti yang terlihat dari kegagalan mengatasi krisis listrik dan air di Madagaskar.
Sentimen negatif ini menciptakan **risiko baru dan kompleks** bagi kelangsungan bisnis China di Afrika. Para investor dan perusahaan dari Tiongkok harus menghadapi realitas bahwa aset mereka kini menjadi **target utama** saat terjadi kerusuhan sosial atau politik. Insiden di Antananarivo berfungsi sebagai peringatan bahwa keberhasilan bisnis tidak lagi hanya bergantung pada hubungan tingkat tinggi dengan pemerintah, tetapi juga pada **penerimaan dan legitimasi sosial** di mata masyarakat lokal. Kegagalan untuk berinvestasi dalam hubungan masyarakat, memenuhi standar ketenagakerjaan yang adil, dan memitigasi dampak lingkungan dapat memicu ledakan sosial yang berpotensi merugikan baik secara finansial maupun diplomatik.
Singkatnya, kerusuhan di Madagaskar telah mengubah diskursus tentang China di Afrika dari narasi kemitraan strategis menjadi diskusi yang lebih jujur tentang **eksploitasi, ketimpangan utang, dan pengabaian sosial-lingkungan**. Ini adalah panggilan bagi Beijing dan pemerintah Afrika untuk mengatasi masalah transparansi, tata kelola, dan perlakuan terhadap pekerja lokal jika kemitraan ini ingin bertahan dan memulihkan citra yang semakin rusak







