Connect with us

Nasional

Refleksi Akhir Tahun 2025: Paradoks Kemajuan dan Luka Sosial di Indonesia

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari nasional.kompas.com Menjelang penutupan tahun 2025, Indonesia seolah sedang menatap bayangannya sendiri pada sebuah cermin besar yang kini tampak penuh dengan retakan. Tahun pertama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah meninggalkan jejak perjalanan yang penuh dengan kontradiksi. Di satu sisi, ada ambisi besar untuk membawa Indonesia ke panggung global, namun di sisi lain, denyut kehidupan di lapisan masyarakat bawah menunjukkan adanya kelelahan dan keterhimpitan yang mendalam.

1. Krisis Fiskal di Daerah: Efisiensi yang Menyakitkan

Awal tahun 2025 ditandai dengan kebijakan efisiensi anggaran radikal dari pemerintah pusat. Meskipun tujuannya adalah untuk membersihkan kebocoran anggaran dan birokrasi, cara eksekusinya yang drastis menyebabkan kepanikan di tingkat daerah.

Pemotongan Dana Transfer: Pemerintah daerah kehilangan napas fiskal karena pemangkasan dana dari pusat.

Beban ke Rakyat: Untuk menutup lubang anggaran, banyak pemerintah daerah (seperti di Kabupaten Pati dan wilayah Jawa Tengah lainnya) terpaksa menaikkan pajak daerah secara signifikan, mulai dari PBB hingga pajak hiburan.

Paradoks: Negara berusaha tampak sehat secara fiskal di mata investor, namun kenyataannya rakyat kecil dipaksa membayar lebih mahal di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil.

2. Absennya Empati dan Gejolak Agustus 2025

Puncak dari ketegangan sosial ini meledak pada Agustus 2025. Alih-alih merayakan kemerdekaan dengan suka cita, publik justru merespons dengan kemarahan besar. Pemicunya adalah kontras tajam antara realitas ekonomi rakyat dengan gaya hidup para elite politik.

“Kemarahan publik tidak lahir dari ruang hampa, melainkan akumulasi ketidakadilan yang dipicu oleh absennya empati di ruang kekuasaan.”

Salah satu pemicu spesifiknya adalah kebijakan kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR yang dianggap sangat tidak masuk nalar di saat harga kebutuhan pokok seperti beras masih tinggi dan tarif listrik terus mencekik warga.

3. Gelombang Protes Nasional

Ketidakpuasan tersebut memicu demonstrasi besar yang melumpuhkan berbagai kota besar di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Makassar. Gelombang protes ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa hingga pengemudi ojek daring. Peristiwa ini menjadi pengingat keras bagi pemegang kekuasaan bahwa mandat rakyat bukanlah “cek kosong” yang bisa digunakan tanpa memedulikan penderitaan mayoritas penduduk.

4. Cermin yang Retak: Tantangan ke Depan

Secara sosiologis, tahun 2025 menjadi potret ketimpangan yang semakin menganga. Laporan-laporan statistik mungkin menunjukkan pertumbuhan ekonomi di atas kertas, namun di jalanan, realitasnya adalah kemarahan dan gugatan nurani. Indonesia yang katanya kaya akan nilai luhur dan sumber daya alam, di akhir tahun ini justru terlihat sedang “menggugat” kepemimpinannya sendiri demi menuntut kebijakan yang lebih adil dan memanusiakan rakyat.

Kesimpulan Refleksi

Tahun 2025 bukan sekadar pergantian kalender, melainkan sebuah ujian berat bagi konsensus sosial bangsa. “Wajah retak” dalam cermin akhir tahun ini adalah simbol dari perlunya perbaikan mendasar pada cara negara mengelola keadilan dan empati. Harapannya, di tahun mendatang, retakan-retakan ini dapat dipulihkan dengan kebijakan yang tidak hanya indah secara administratif di Jakarta, tetapi juga memberikan rasa lega dan keadilan di meja makan rakyat kecil.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *