Education
Pernyataan mengejutkan dari Kemendikdasmen Mengenai Daya Konsentrasi Anak yang Disebut-sebut Lebih Rendah Dari Ikan Koi; Artikel Ini Mengupas Tuntas Alasannya.

Semarang (usmnews) dikutip dari detik.com Sebuah peringatan serius mengenai kondisi kognitif anak-anak di era digital telah disampaikan oleh seorang pejabat tinggi Kementerian Pendidikan. Rusprita Putri Utami, yang menjabat sebagai Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), mengungkapkan sebuah fakta yang mengejutkan: daya fokus atau rentang perhatian anak-anak saat ini terbukti lebih rendah dibandingkan dengan ikan koi.
Klaim yang mencengangkan ini, menurut Rusprita, bukanlah sekadar kiasan, melainkan didasarkan pada hasil penelitian spesifik yang dilakukan oleh para ahli neuroscience (ilmuwan sistem saraf) di Inggris Raya. “Saya juga agak terkejut,” aku Rusprita, “ternyata menurut ahli neuroscience ini… daya fokus anak-anak kita lebih rendah daripada daya fokus ikan koi. Jadi bayangkan betapa singkatnya daya fokus anak-anak kita.”

Pernyataan ini disampaikannya dalam acara penting, Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), yang diadakan di Jakarta Pusat pada Rabu, 12 November 2025.
Akar Masalah: Doomscrolling dan Adiksi
Rusprita mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap menurunnya daya fokus ini. Salah satu biang keladi utamanya adalah fenomena doomscrolling.
Istilah ini merujuk pada kebiasaan kompulsif menggulir layar gawai secara terus-menerus, sering kali untuk mencari dan menyerap berita atau konten negatif. Kebiasaan ini, jelasnya, membawa serangkaian dampak negatif yang merusak.
Doomscrolling tidak hanya mengganggu kemampuan untuk fokus, tetapi juga terbukti memengaruhi kesehatan mental, menyebabkan kesulitan tidur (insomnia), meningkatkan kecemasan, dan bahkan memicu ketakutan yang dapat berujung pada stres kronis.
Salah satu dampak turunan yang paling mengkhawatirkan adalah terbaliknya jam biologis anak. Fenomena ini telah membuat banyak anak-anak masa kini dikenal sebagai “makhluk nokturnal” atau aktif di malam hari. “Jadi justru kebalik, malam bangun, pagi-pagi ngantuk lalu tidur sampai siang,” beber Rusprita. Ia menegaskan bahwa pola hidup terbalik ini “sangat memengaruhi daya fokus anak-anak kita” dan sebaiknya tidak dilakukan.
Selain doomscrolling, Rusprita juga menyoroti bahaya berbagai fenomena adiksi digital, terutama kecanduan gim online dan pornografi. Ia menjabarkan temuan studi yang lebih mengejutkan lagi, yang menyebutkan bahwa adiksi-adiksi ini ternyata “jauh lebih merusak sel otak daripada narkoba.”
Bahaya adiksi gim online bukanlah isapan jempol belaka. “Ini juga jadi fenomena yang luar biasa kami temui, bahkan ada beberapa anak-anak yang saat ini masuk rumah sakit jiwa karena adiksi gim online,” katanya.
Langkah Mitigasi dan Solusi dari Kemendikdasmen
Menghadapi krisis multidimensi ini, Kemendikdasmen tidak tinggal diam. Rusprita menjelaskan bahwa kementeriannya telah merancang dan menerapkan langkah-langkah mitigasi konkret.

1. Kebijakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (KAIH)
Solusi pertama adalah kebijakan pembiasaan karakter yang disebut “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” (KAIH).
Ketujuh kebiasaan ini meliputi:
1.Bangun pagi
2.Beribadah
3.Berolahraga
4.Makan sehat dan bergizi
5.Gemar belajar
6.Bermasyarakat
7.Tidur cepat
Kebijakan ini dirancang untuk diterapkan secara holistik dan menyeluruh, mencakup semua jenjang pendidikan mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, hingga Sekolah Luar Biasa (SLB). Untuk mendukung implementasinya, Kemendikdasmen telah menyusun dan mendistribusikan buku panduan yang ditujukan bagi sekolah, guru, dan juga orang tua.
Rusprita menekankan bahwa keluarga adalah kunci utama. “Justru aktor utama untuk melakukan pembiasaan baik ini awalnya harus dari keluarga, guru, dan kepala sekolah,” jelasnya. Ia menyoroti bahwa kebiasaan fundamental seperti “bangun pagi” dan “tidur cepat” harus dimulai dan dikuatkan dari lingkungan rumah.
2. Kebijakan “Jeda Ceria” dan Senam Otak
Untuk mengatasi masalah fokus secara langsung di dalam kelas, Kemendikdasmen juga mengeluarkan kebijakan “Jeda Ceria”. Ini adalah sebuah program yang dirancang untuk disisipkan di sela-sela jam pembelajaran.
Salah satu komponen utama “Jeda Ceria” adalah “senam otak”. Aktivitas ini tidak dibuat sembarangan; Kemendikdasmen secara khusus melibatkan para ahli neuroscience dalam penyusunannya. “Senam otak yang dikeluarkan oleh kementerian itu sebenarnya salah satu strategi kami… untuk mengeluarkan aktivitas di jeda-jeda antara pembelajaran untuk mengembalikan fokus anak-anak kita,” pungkas Rusprita.







