Education
Pendidikan Seksualitas: Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual

usmtv.id (usmnews) – Kekerasan seksual menjadi salah satu permasalahan serius yang tengah dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa selama periode 1 Januari hingga 26 Desember 2023, terdapat sekitar 12.314 korban kekerasan seksual di tanah air. Namun, tantangan seksualitas tidak hanya terbatas pada kekerasan seksual, tetapi juga mencakup masalah perilaku seksual di kalangan remaja, sebagaimana yang dicatat oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Data tersebut menunjukkan bahwa permasalahan seksualitas pada anak dan remaja merupakan isu yang mendesak untuk mendapatkan perhatian serius, mengingat dampaknya pada perkembangan individu.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Novrianzah et al (2022), terungkap bahwa dampak kekerasan atau pelecehan seksual dapat menyebabkan anak mengalami penderitaan, depresi, kehilangan nafsu makan, hingga kesulitan dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, pendidikan seksualitas sejak dini menjadi kunci dalam upaya pencegahan agar anak-anak tidak menjadi korban kekerasan seksual.
Pendidikan seksualitas bukan sekadar pembicaraan tentang seks, melainkan juga melibatkan pemahaman tentang bagaimana anak dapat menjaga tubuhnya dari bahaya perilaku seksual di sekitarnya. Anak-anak, sebagai makhluk sosial, perlu diajarkan tentang tubuhnya, organ seksual, dan organ reproduksinya. Dalam proses tumbuh kembangnya, anak-anak memerlukan bimbingan orangtua untuk memahami dengan benar konsep diri sebagai makhluk seksual yang menghargai tubuhnya.
Pendidikan seksualitas, sebagai upaya preventif, memegang peranan penting dalam mencegah kejadian kekerasan seksual. Orangtua, sebagai pendamping utama anak, memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi yang jelas dan benar tentang persoalan seksualitas manusia. Namun, bagaimana cara melaksanakan pendidikan seksualitas yang efektif?
Pertama, orangtua dapat menanamkan pemahaman kepada anak mengenai peran jender (maskulin-feminim) dan fungsinya sebagai laki-laki atau perempuan. Keteladanan dari orangtua dalam menjalankan peran gendernya menjadi kunci utama dalam pendidikan ini. Kedua, diskusi terbuka dengan anak mengenai bagian tubuh yang boleh atau tidak boleh disentuh oleh orang lain dapat dilakukan. Orangtua dapat mengenalkan anak pada anatomi tubuh manusia dan fungsi-fungsinya sebagai langkah ketiga. Keempat, penting untuk mengajarkan anak tentang pentingnya menjaga dan merawat organ intim mereka sendiri. Terakhir, orangtua perlu menyampaikan kepada anak mengenai hubungan seksual yang sehat dan menginformasikan risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Meskipun pendidikan seksualitas dianggap sebagai solusi yang efektif, terdapat beberapa miskonsepsi yang perlu diatasi. Pertama, ada kecenderungan untuk menunda memberikan informasi kepada anak dengan alasan usia yang masih kecil. Sebaliknya, memberikan pemahaman sejak dini dapat membuat anak lebih tahu dan mampu melindungi diri dari bahaya potensial. Kedua, menunggu anak bertanya sebelum memberikan informasi juga tidak efektif. Inisiatif untuk memberikan pendidikan seksualitas sejak dini seharusnya datang dari orangtua. Ketiga, mengandalkan pemahaman anak yang akan tumbuh sendiri ketika sudah besar adalah pendekatan yang berisiko, mengingat potensi terjadinya kejahatan seksual di luar sana.
Program pendidikan seksualitas pada anak harus disesuaikan dengan perkembangan usia mereka. Dalam usia 0-2 tahun, orangtua dapat memberikan penghargaan pada jenis kelamin anak sejak masih dalam kandungan. Pada usia 2-3 tahun, orangtua mulai memperkenalkan nama organ seksual dan menegaskan identitas jender anak. Selanjutnya, pada usia 3-5 tahun, orangtua dapat melatih anak dalam menjaga tubuhnya dan mengajarkan pentingnya kebersihan organ seksual. Di usia 6-8 tahun, anak perlu diajarkan tentang peran jender dalam bersosialisasi dan dikenalkan pada tahap perkembangan seksual berikutnya. Pada usia 9-12 tahun, persiapan untuk memasuki masa pubertas menjadi fokus, termasuk pemahaman tentang menstruasi dan perubahan fisik lainnya.
Pada usia 13-15 tahun, orangtua dapat membimbing anak dalam mengendalikan dorongan seksual, menghindari tekanan sosial, dan memahami nilai keluarga yang sudah ditanamkan. Komunikasi terbuka antara orangtua dan anak menjadi kunci dalam memastikan pemahaman yang baik mengenai perubahan fisik, emosional, dan sosial yang terjadi pada masa remaja.
Kesimpulannya, pemberian pendidikan seksualitas sejak dini merupakan langkah krusial dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan seksual dan membantu mereka mengatasi perubahan yang terjadi pada masa perkembangannya. Meskipun prosesnya mungkin tidak mudah, konsistensi dan tekad orangtua berperan besar dalam menyelamatkan anak-anak dari bahaya kejahatan seksual dan perilaku menyimpang di masa depan. Pendidikan seksualitas bukanlah tabu, melainkan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam lingkungan keluarga. Orangtua memiliki peran utama dalam memberikan edukasi seksual dan menjadi garda terdepan dalam menjaga anak-anak dari tindakan kejahatan seksual yang dapat merusak masa depan mereka.
Update terus berita terkini! Kunjungi halaman usmtv.id