International

Papan Catur Geopolitik Malaysia: Mengapa Rivalitas Anwar vs Mahathir Mencerminkan Perebutan Pengaruh AS dan China

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari SindoNews, Rivalitas politik antara Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad telah menjadi narasi dominan dalam sejarah modern Malaysia selama lebih dari tiga dekade. Namun, konflik ini bukan sekadar drama personal atau perebutan kursi kekuasaan domestik.

Dalam perspektif yang lebih luas, perseteruan kedua tokoh ini sering kali dianggap sebagai representasi dari tarikan dua kekuatan besar dunia di Asia Tenggara: Amerika Serikat (AS) dan China. Malaysia, dengan lokasinya yang sangat strategis di Selat Malaka, menjadi “medan pertempuran” pengaruh bagi kedua negara adidaya tersebut.

Anwar Ibrahim: Citra Reformis dan Kedekatan dengan Nilai Barat

​Anwar Ibrahim sejak lama dipandang oleh komunitas internasional sebagai sosok pemimpin yang pro-demokrasi dan pro-pasar. Latar belakangnya sebagai tokoh reformasi (Reformasi) membuatnya memiliki kedekatan ideologis dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Barat, khususnya Amerika Serikat. Di mata Washington, Anwar adalah mitra yang mampu membawa stabilitas dan akuntabilitas di kawasan.

​Meskipun saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri dan bersikap sangat pragmatis terhadap investasi China, rekam jejak Anwar yang sering berbicara tentang hak asasi manusia dan keterbukaan ekonomi membuatnya lebih mudah diterima oleh blok Barat. AS memandang Anwar sebagai sosok yang bisa menjaga keseimbangan agar Malaysia tidak terlalu jatuh ke dalam orbit pengaruh Beijing, terutama dalam isu-isu sensitif seperti teknologi 5G dan keamanan maritim.

Mahathir Mohamad: Arsitek Kebijakan “Pandang ke Timur”

​Di sisi lain, Mahathir Mohamad dikenal dengan retorika anti-Baratnya yang tajam selama bertahun-tahun. Melalui kebijakan “Look East” (Pandang ke Timur) yang ia cetuskan sejak masa jabatan pertamanya, Mahathir secara sadar mengalihkan fokus pembangunan Malaysia dari model Barat ke model pembangunan Asia, seperti Jepang dan China.

​Mahathir sering kali bersikap skeptis terhadap intervensi AS dalam urusan internal negara-negara Muslim dan kritis terhadap dominasi dolar dalam perdagangan global. Dalam konteks China, meski ia sempat mengkritik “diplomasi jebakan utang” terkait proyek infrastruktur besar saat ia kembali berkuasa pada 2018, secara fundamental Mahathir melihat China sebagai mitra ekonomi yang lebih alami bagi Malaysia dibandingkan kekuatan Barat yang ia anggap sering bersikap imperalis.

Malaysia di Antara Dua Gajah

​Perseteruan kedua tokoh ini mencerminkan dilema yang dihadapi Malaysia:

  • Sektor Ekonomi: Kebutuhan akan investasi besar-besaran dari China untuk proyek infrastruktur (seperti ECRL) dan teknologi (Huawei).
  • Sektor Keamanan dan Ideologi: Ketergantungan pada stabilitas keamanan yang sering kali dijamin oleh kehadiran AS di kawasan Indo-Pasifik.

​Analisis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang memimpin Malaysia, mereka harus menavigasi hubungan yang sangat kompleks ini. Rivalitas Anwar-Mahathir memberikan gambaran bagaimana faksi politik di dalam negeri dapat condong ke arah kutub pengaruh yang berbeda, tergantung pada visi masing-masing tokoh terhadap kedaulatan dan kemajuan ekonomi bangsa.

Kesimpulan

​Pada akhirnya, perseteruan Anwar dan Mahathir bukan hanya tentang masa lalu Malaysia, melainkan tentang arah masa depan negara tersebut di tengah persaingan hegemon global. Malaysia berusaha menjalankan “jalur tengah” yang netral, namun tarikan gravitasi politik dari Washington dan Beijing melalui tokoh-tokoh kunci ini tetap tidak terelakkan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version