Blog

Pantun: Mengabadikan Kecerdasan Kolektif Nusantara di Panggung Dunia

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompasiana.com Esai karya Kaekaha yang dipublikasikan di platform Kompasiana menyoroti sebuah pencapaian monumental dalam sejarah kebudayaan Indonesia, yakni pengakuan global terhadap pantun. Tulisan ini bermuara pada peringatan Hari Pantun Nasional yang jatuh setiap tanggal 17 Desember. Tanggal tersebut bukan sekadar angka di kalender, melainkan simbol keberhasilan diplomasi budaya setelah seni pantun ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada tahun 2020 silam.

Perjalanan Menuju Pengakuan Dunia

Penulis menjelaskan bahwa penetapan pantun oleh UNESCO merupakan hasil dari proses panjang yang melelahkan namun membanggakan. Melalui mekanisme joint nomination antara Indonesia dan Malaysia, pantun diusulkan sejak tahun 2017. Pengakuan dunia ini lahir dari berbagai kajian akademik mendalam serta dokumentasi nyata mengenai bagaimana pantun hidup dan bernapas dalam keseharian masyarakat Melayu Nusantara.

Pada Juli 2025, komitmen pemerintah Indonesia untuk merawat tradisi ini dipertegas dengan keputusan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang secara resmi menetapkan 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional. Bagi Kaekaha, momentum ini seharusnya menjadi titik balik untuk merefleksikan kembali posisi pantun: bagaimana sebuah bentuk sastra lisan yang terlihat sederhana mampu bertahan melintasi zaman, bertransformasi, dan akhirnya memikat mata dunia.

Filosofi di Balik Struktur Empat Baris

Salah satu poin menarik dalam esai ini adalah bedah nilai terhadap struktur pantun. Penulis menegaskan bahwa pantun bukan sekadar permainan rima atau bunyi semata. Di balik pola dua baris sampiran dan dua baris isi, tersimpan sebuah sistem nilai, etika sosial, dan kecerdasan kolektif yang sangat tinggi.

Struktur pantun mengajarkan kita tentang keseimbangan. Sampiran berfungsi sebagai ruang persiapan imajinasi, sebuah metafora alam yang menyiapkan pendengar sebelum masuk ke inti makna atau pesan yang ingin disampaikan. Proses ini secara tidak langsung melatih kemampuan penalaran simbolik masyarakat Nusantara. Pantun adalah ruang perenungan di mana keindahan bahasa dan kedalaman makna bertemu dalam harmoni yang sempurna.

Tantangan Pelestarian di Era Modern

Esai ini juga melemparkan pertanyaan reflektif kepada pembaca: setelah diakui dunia dan ditetapkan menjadi hari nasional, mampukah kita benar-benar merawatnya? Pantun adalah ingatan kolektif kita yang paling purba sekaligus paling cair. Di tengah arus globalisasi, pantun harus tetap relevan bukan hanya sebagai penghias upacara adat atau acara formal, melainkan sebagai cara berpikir yang menonjolkan kearifan lokal.

Penulis menutup esainya dengan semangat optimisme. Dengan adanya Hari Pantun Nasional, diharapkan masyarakat Indonesia tidak hanya bangga pada status “Warisan Dunia”, tetapi juga aktif menghidupkan kembali tradisi bersahut pantun dalam berbagai lini kehidupan. Pantun adalah bukti bahwa identitas kita tidak akan hilang selama kita masih mampu merangkai kata dalam rima yang bermakna.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version