Education
Obsesi Peringkat Global: Ketika Universitas Kehilangan Esensi dan Relevansi Lokal

Semarang (usmnews) – Para pemimpin universitas saat ini terobsesi mengejar indikator kuantitatif seperti peringkat internasional, jumlah publikasi di jurnal bereputasi, dan sitasi global. Sebagai contoh, keberhasilan Universitas Indonesia mencapai peringkat tinggi dan menghasilkan ribuan artikel Q1 internasional pada dasarnya memunculkan pertanyaan mendasar: untuk kepentingan siapa pencapaian gemilang ini sesungguhnya dipersembahkan?
Kekhawatiran utama muncul dari krisis integritas akademik yang dipicu oleh tekanan “publikasi atau mati” (publish or perish). Obsesi ini mendorong dosen dan peneliti untuk memprioritaskan riset yang diakui secara global, sering kali mengabaikan persoalan-persoalan riil di tingkat lokal. Akibatnya, penelitian terperangkap di “menara gading” (terisolasi) dan tidak berdampak nyata pada penyelesaian masalah masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan temuan indeks global yang menempatkan beberapa kampus besar Indonesia dalam daftar perguruan tinggi dengan integritas penelitian yang patut dipertanyakan atau berisiko tinggi (red flag), menunjukkan adanya tantangan struktural dalam tata kelola riset.
Ironisnya, di tengah keterbukaan teknologi yang masif, mahasiswa justru menunjukkan kecenderungan yang lebih tertutup secara intelektual. Meskipun mahir menggunakan gawai dan informasi digital, mereka rentan terhadap fenomena Echo Chamber Digital dan Confirmation Bias, yaitu kecenderungan hanya menerima informasi yang mengonfirmasi pandangan mereka sendiri, diperkuat oleh algoritma media sosial. Di dalam kelas, mahasiswa cenderung lebih menyukai materi yang praktikal dan aplikatif, namun kurang antusias terhadap diskusi filosofis atau teori kritis. Ketika dihadapkan pada sudut pandang yang berbeda, respons yang muncul seringkali defensif atau menolak alih-alih melakukan dialog yang konstruktif dan mendalam. Semua ini didorong oleh tekanan pragmatis untuk segera mendapatkan pekerjaan pasca-lulus.
Berbeda dengan internal kampus, masyarakat luas di luar pagar universitas justru menunjukkan dinamika yang lebih adaptif dan terbuka. Di tengah perubahan digital dan ketidakpastian ekonomi, mereka menyadari bahwa cara-cara lama tidak lagi memadai dan mulai bereksperimen dengan pendekatan baru yang lebih kontekstual, seperti gerakan ekonomi sirkular dan pertanian urban. Masyarakat secara aktif menciptakan solusi inovasi sosial dari bawah, tidak lagi menunggu solusi dari elit.

Menanggapi kondisi ini, universitas harus segera mereformasi diri dengan kembali menjadi “ruang terbuka” sejati—baik secara fisik, intelektual, maupun sosial. Terdapat empat mandat keterbukaan yang harus dipenuhi:
- Keterbukaan Intelektual: Kampus harus menjadi tempat di mana semua ide, betapapun radikalnya, dapat diuji secara kritis dengan argumentasi yang kuat tanpa rasa takut dikucilkan.
- Keterbukaan Sosial: Riset harus berorientasi pada penyelesaian masalah masyarakat melalui perluasan model community-based research, menjadikan masyarakat mitra aktif, bukan sekadar objek penelitian.
- Keberagaman Inklusif: Kampus harus secara aktif membuka akses bagi kelompok terpinggirkan dan memastikan kurikulum merepresentasikan beragam perspektif, tidak didominasi oleh satu pandangan tertentu.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Sebagai institusi publik, proses pengambilan keputusan harus transparan, memberikan saluran bagi dosen, mahasiswa, dan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Pada akhirnya, mengejar predikat World Class University seharusnya dimaknai bukan sebagai pencapaian angka pada daftar peringkat, melainkan sebagai upaya untuk memberikan kontribusi nyata dan signifikan bagi peradaban. Dengan kembali menghayati makna asalnya sebagai universitas magistrorum et scholarium—komunitas guru dan murid—kampus dapat memenuhi panggilan sejatinya sebagai lembaga pencari kebenaran dan pembebas kemanusiaan, yang menjadi “mercusuar” di tengah tantangan zaman.







