Nasional

Menyurusi Jejak Hari Juang Kartika 2025

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompas.com Pada hari Senin, tanggal 15 Desember 2025, segenap jajaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) kembali memperingati Hari Juang Kartika. Peringatan ini bukanlah sekadar seremonial militer tahunan, melainkan sebuah wahana refleksi mendalam terhadap sejarah kelahiran kekuatan darat Indonesia. Hari tersebut menjadi simbol abadi dari peristiwa Palagan Ambarawa, sebuah momen ketika tentara dan rakyat bersatu padu mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung dari ancaman kembalinya kolonialisme. Latar Belakang Konflik: Pengkhianatan Misi Kemanusiaan. Sejarah Hari Juang Kartika tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa berdarah yang terjadi antara 20 Oktober hingga 15 Desember 1945. Konflik ini bermula dari kedatangan Brigade Artileri Divisi India ke-23 (pasukan Sekutu) di Semarang. Awalnya, kedatangan mereka disambut dengan itikad baik karena membawa mandat kemanusiaan untuk mengurus tawanan perang Belanda (APWI) di penjara Ambarawa dan Magelang. Namun, misi tersebut dinodai oleh Nederlandsch-Indische Civiele Administratie (NICA) yang membonceng Sekutu. NICA diam-diam mempersenjatai para bekas tawanan Belanda tersebut, sebuah tindakan provokatif yang memicu kemarahan pihak Republik.

Situasi semakin memanas karena Ambarawa memegang peranan vital secara geografis; kota ini adalah gerbang strategis menuju Surakarta dan Yogyakarta, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan dan nadi perjuangan Republik Indonesia. Jika Ambarawa jatuh, jantung republik akan terancam. Bentrokan pun tak terhindarkan, meluas dari Magelang hingga meletus menjadi pertempuran besar di Ambarawa. Strategi Soedirman dan Kemanunggalan Rakyat, di tengah gentingnya situasi, Kolonel Soedirman (yang kemudian menjadi Panglima Besar) mengambil alih komando paca-gugurnya Letkol Isdiman. Pertempuran Ambarawa menjadi bukti nyata dari konsep “Sishankamrata” atau pertahanan semesta. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tidak berjuang sendirian. Meski menghadapi pasukan Sekutu yang dilengkapi persenjataan modern—termasuk tank dan artileri berat—TKR memiliki keunggulan moral dan dukungan logistik dari rakyat lokal.

Sumber: Kompas.com

Pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan umum serentak. Taktik pengepungan yang dikenal dengan “Supit Urang” diterapkan, menjepit musuh dari berbagai sisi sehingga suplai dan komunikasi mereka terputus. Selama empat hari empat malam, pertempuran sengit berkecamuk. Semangat juang yang tak kenal takut dari para prajurit dan rakyat berhasil meruntuhkan mental pasukan Inggris yang jauh lebih berpengalaman. Kemenangan dan Transformasi Hari Infanteri. Puncaknya terjadi pada 15 Desember 1945, ketika pasukan Sekutu yang terdesak hebat akhirnya memutuskan untuk mundur ke Semarang. Dalam proses kemundurannya, mereka melakukan aksi bumi hangus di wilayah yang ditinggalkan. Namun, hal itu tidak mengurangi arti kemenangan TKR. Peristiwa ini menegaskan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia yang masih muda mampu mematahkan kekuatan militer pemenang Perang Dunia II. Kemenangan gemilang ini kemudian diabadikan lewat pembangunan Monumen Palagan Ambarawa.

Awalnya, tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri untuk menghormati peran pasukan pejalan kaki dalam pertempuran tersebut. Namun, seiring dinamika sejarah dan organisasi, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 163 Tahun 1999, nama peringatan tersebut diubah menjadi Hari Juang Kartika TNI AD. Perubahan ini menegaskan bahwa semangat juang Ambarawa bukan hanya milik korps Infanteri semata, melainkan menjadi identitas, jiwa, dan landasan perjuangan bagi seluruh kesatuan di TNI Angkatan Darat dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga hari ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version