Nasional
Menuju Pengakuan Dunia, Langkah Strategis Indonesia Daftarkan Tempe sebagai Warisan Budaya UNESCO

Semarang (usmnews) – Dikutip dari trevel.detik.com Pemerintah Indonesia kembali mengambil langkah monumental dalam pelestarian kekayaan nasional dengan secara resmi mendaftarkan tempe sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage) ke UNESCO. Langkah ini bukan sekadar upaya administratif untuk mendapatkan label internasional, melainkan sebuah penghormatan mendalam terhadap ekosistem budaya, kearifan lokal, dan ilmu pengetahuan tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun di Nusantara.
Lebih dari Sekadar Kuliner: Sebuah Ekosistem Budaya
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dalam sambutannya di acara Festival Budaya Tempe yang berlangsung di Jakarta, menegaskan bahwa esensi dari pendaftaran ini melampaui wujud fisik tempe sebagai makanan. Inti dari pengakuan yang diperjuangkan adalah tradisi dan pengetahuan kompleks di balik proses fermentasi itu sendiri. Proses ini merupakan manifestasi kecerdasan leluhur yang kini menghidupi jutaan orang.
Fadli memaparkan data yang menggugah mengenai skala ekonomi tempe di Indonesia. Saat ini, tercatat ada sekitar 170.000 komunitas pengrajin tempe yang menyerap tenaga kerja hingga 1,5 juta orang. Angka-angka ini membuktikan bahwa tempe bukan sekadar lauk pauk di meja makan, melainkan tulang punggung ekonomi kerakyatan dan fondasi penting dalam struktur ekonomi budaya nasional. Oleh karena itu, pendaftaran ke UNESCO diharapkan dapat menjadi katalisator yang memperluas jangkauan distribusi produk tempe, meningkatkan kesejahteraan pengrajin lokal, dan menegaskan posisi pangan lokal sebagai ekspresi budaya yang bernilai tinggi.

Tantangan Kemandirian dan Perubahan Citra
Di tengah euforia pendaftaran ini, pemerintah tidak menutup mata terhadap tantangan fundamental yang masih membayangi, yakni ketergantungan pada bahan baku impor. Fadli Zon menyoroti realitas bahwa kedelai, sebagai tanaman subtropis, masih sulit dipenuhi sepenuhnya dari dalam negeri. Ia mendorong para ahli pertanian dan akademisi untuk berinovasi menggunakan teknologi mutakhir guna mencapai swasembada kedelai. Harapannya, di masa depan, “Warisan Budaya” ini tidak hanya diproduksi dengan cara Indonesia, tetapi juga tumbuh dari tanah Indonesia.
Selain tantangan agrikultur, terdapat pula tantangan sosial berupa stigma. Selama ini, tempe sering kali dipandang sebelah mata sebagai “makanan murah” atau makanan kelas dua. Padahal, tempe adalah sumber protein nabati berkualitas tinggi yang telah menopang gizi rakyat sejak lama. Melalui momentum UNESCO ini, pemerintah bertekad meruntuhkan citra inferior tersebut dan menempatkan tempe sebagai hidangan bergengsi yang layak dibanggakan.

Gastro-Diplomasi: Tempe di Piring Dunia
Kementerian Kebudayaan kini aktif menggalakkan kampanye edukasi dan pameran untuk mendukung proses pendaftaran ini. Fadli Zon secara khusus menantang para juru masak (chef) dan praktisi kuliner untuk mengeksplorasi kreativitas mereka dalam mengolah tempe. Tidak hanya digoreng atau dibacem, tempe diharapkan dapat bertransformasi menjadi hidangan modern yang memikat lidah global.
Visi akhirnya adalah menjadikan tempe sebagai alat gastro-diplomasi yang ampuh. Dengan cita rasa yang unik dan nilai gizi yang tinggi, tempe memiliki potensi besar untuk menjadi duta kuliner Indonesia yang mempererat hubungan antarbudaya di kancah internasional, sejajar dengan ikon kuliner dunia lainnya.







