Anak-anak
Menjawab Krisis Kekerasan dan Perundungan: Siswa Salatiga Gagas Konferensi “Find The Code” untuk Memberdayakan Suara Anak

Semarang (usmnews) – Dikutip dari Kompas.com kondisi kekerasan terhadap anak di Indonesia menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Permasalahan ini mencakup kekerasan di lingkungan tumbuh kembang serta perundungan (bullying) yang kian marak. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkonfirmasi adanya peningkatan signifikan atas kasus kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan dalam beberapa tahun terakhir.
Secara spesifik, JPPI mencatat bahwa pada tahun 2024, terjadi lonjakan kasus kekerasan yang mencapai lebih dari 100 persen jika dibandingkan dengan data tahun 2023. Situasi ini diperparah oleh temuan riset Kemendikbudristek pada tahun 2022 yang mengungkapkan bahwa 36,31 persen siswa di Indonesia berpotensi mengalami perundungan, baik dalam bentuk verbal, fisik, maupun cyberbullying.
Ironisnya, di tengah gempuran masalah yang serius ini, suara anak-anak yang seharusnya menjadi fokus utama seringkali menjadi yang paling pelan terdengar atau bahkan terabaikan.
Menolak untuk tinggal diam, sekelompok siswa dari SMP Arunika Salatiga mengambil inisiatif langka. Mereka menggagas sebuah konferensi unik yang berfokus pada anak, bertajuk “FIND THE CODE: Konferensi Anak untuk Membaca Dunia dan Menciptakan Solusi.”

“Konferensi ini membedakan diri karena tidak diinisiasi oleh orang dewasa. Acara yang berlangsung di Gedung KH Ahmad Dahlan UIN Salatiga pada Sabtu, 1 November 2025 ini, mengumpulkan ratusan siswa dari tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari Kota Salatiga dan sekitarnya. Mereka berkumpul bukan sebagai peserta pasif, melainkan untuk berpartisipasi secara bermakna sebagai “Detektif Perubahan” guna mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.
Valentina Laras Gita Andaru, Kepala Sekolah SMP Arunika Salatiga, menekankan urgensi dari kegiatan ini. Menurutnya, mendengarkan suara anak secara langsung—tanpa mengecilkan atau “mengkerdilkan” perspektif mereka—sangatlah krusial.
“Konferensi anak ini penting karena justru suara anaklah yang perlu didengar oleh kita orang dewasa,” ungkap Valentina.
Ia menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan investasi jangka panjang untuk menanamkan empati dan pengenalan diri yang baik sejak dini. Harapannya, setiap anak yang hadir dapat kembali ke sekolah masing-masing sebagai agen perubahan yang membawa ide-ide solutif.
Sebagai tindak lanjut, anak-anak membacakan deklarasi yang berisi tuntutan mereka kepada orang tua agar hasil konferensi tersebut didengarkan. Valentina berharap, “Di rumah, orang tua lebih banyak mendengarkan anak, supaya rumah jadi tempat nyaman untuk pulang dan berbagi cerita.”
Lebih lanjut, ia mendorong agar dinas terkait dapat membuka hotline layanan konsultasi gratis, memberikan ruang yang aman dan privat bagi remaja untuk bercerita.
Dari “Apa Cita-citamu?” Menjadi “Apa Solusimu?”
Inisiatif ini datang dari kegelisahan para siswa sendiri. Rasya, leader project dari kelas 9 SMP Arunika, menjelaskan bahwa konferensi “Find The Code” dirancang sebagai pengalaman interaktif untuk membekali peserta dengan alat menjadi agen perubahan.

“Kami lelah hanya menjadi penonton. Kami melihat masalah, kami merasakannya, dan kami yakin kami punya peran untuk memperbaikinya,” ujar Rasya. Ia menegaskan bahwa acara ini adalah cara mereka membekali teman sebaya dengan ‘kode’ untuk memahami diri sendiri dan dunia, lalu bersama-sama menciptakan solusi.
Rasya menyebut konferensi ini sebagai bukti bahwa kepedulian sosial dan jiwa kepemimpinan tidak mengenal batasan usia. “Inilah momen di mana anak-anak tidak lagi ditanya “Apa cita-citamu?”, tetapi “Apa solusimu untuk dunia?” tambahnya.
Antusiasme ini dirasakan oleh para peserta. Julia, siswi kelas 8 dari Mts Rolas Noltelu, mengungkapkan bahwa biasanya ia dan teman-temannya hanya bisa mengeluh tentang masalah tanpa ada yang mendengar. “Dengan ikut acara ini, saya merasa punya kesempatan untuk membawa perubahan,” katanya.
Senada dengan Julia, Ina, siswi kelas 5 SD School of Life Lebah Putih, mengaku sering melihat masalah seperti teman yang diejek atau stres karena pelajaran, namun merasa bingung dan tidak berdaya. “Di ‘Find The Code’, saya merasa akhirnya ada wadah di mana suara kami didengarkan dan diajak untuk mencari solusi bersama,” ungkapnya.
Hasil dari konferensi “Find The Code” ini kemudian dibacakan sebagai deklarasi anak, dengan harapan suara mereka tidak hanya berhenti di telinga sesama remaja, tetapi juga sampai kepada pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk mewujudkan perubahan nyata.







