Education
Menelusuri Jejak Misterius Freemasonry dan Warisan Pendidikannya di Kota Kembang
Semarang (usmnews) – Dikutip dari detik.com Kota Bandung, yang dikenal dengan sejarah kolonialnya yang kental, menyimpan cerita menarik tentang keberadaan kelompok Freemasonry, sebuah organisasi yang sering diselimuti misteri dan mitos. Jauh dari sekadar teori konspirasi yang sering beredar di masyarakat modern, Freemasonry di Hindia Belanda—khususnya di Bandung—hadir sebagai entitas sosial nyata yang digerakkan oleh kaum intelektual Eropa. Organisasi ini memiliki basis operasional yang kuat melalui sebuah loji (markas) bernama “Loji Sint Jan” (St. John).
Loji Sint Jan didirikan sekitar tahun 1896 dan menjadi loji ke-13 yang dibangun di Hindia Belanda. Secara fisik, bangunan ini terletak di lokasi yang sangat strategis, yakni di Jalan Wastu Kencana. Arsitektur bangunannya yang megah namun tertutup, dengan jendela-jendela yang relatif kecil untuk ukuran gedung sebesar itu, menciptakan aura eksklusivitas. Ditambah dengan aktivitas ritual internal yang sangat tertutup bagi publik, masyarakat pribumi pada masa itu merasa asing dan takut, sehingga mereka menjuluki bangunan tersebut sebagai “Rumah Setan” atau “Gedung Setan”. Julukan ini juga muncul karena lidah lokal yang kesulitan melafalkan nama “Sint Jan”.
Namun, di balik tembok tebal dan stigma menyeramkan tersebut, Loji Sint Jan memainkan peran signifikan dalam reformasi sosial dan pendidikan di Bandung. Para anggota Freemason, yang umumnya terdiri dari elit Eropa terdidik, memiliki visi untuk memajukan masyarakat melalui jalur intelektual. Salah satu bukti nyata kontribusi mereka adalah pendirian perpustakaan umum bernama De Openbare Bibliotheek van Bandoeng pada tahun 1891, yang bertempat di gedung Kweekschool (sekolah guru)—lokasi yang kini menjadi bagian dari kompleks Polrestabes Bandung. Tidak hanya itu, mereka juga mengelola perkumpulan Pro Juventute yang berfokus pada pendidikan anak-anak.
Semangat pendidikan yang diusung oleh Freemasonry di Bandung bertujuan untuk menyediakan alternatif sekolah yang bersifat netral dan umum. Langkah ini diambil untuk mengimbangi dominasi sekolah-sekolah berbasis agama (Kristen dan Katolik) yang saat itu cenderung eksklusif bagi kalangan bangsawan dan anak-anak Eropa saja. Bahkan, jejak pengaruh mereka disebut-sebut turut andil dalam pengembangan pendidikan teknis yang menjadi cikal bakal institusi bergengsi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB). Tokoh-tokoh elit lokal, seperti Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V, meskipun tidak tercatat secara resmi sebagai anggota, memiliki kedekatan ideologis dengan kelompok ini karena kesamaan visi dalam modernisasi dan etika universal.
Eksistensi Freemasonry di Indonesia akhirnya meredup seiring kedatangan Jepang yang memusuhi segala hal berbau Yahudi dan sekutunya. Puncaknya terjadi di era kemerdekaan, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan larangan resmi terhadap organisasi ini, yang berujung pada pembongkaran Gedung Loji Sint Jan. Kini, di atas tanah bekas markas “misterius” tersebut, telah berdiri Masjid Al-Ukhuwah yang megah, namun sejarah mencatat bahwa di tempat itu pernah ada gerakan yang berupaya mencerdaskan kehidupan sosial melalui pendidikan, terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya.