Connect with us

Nasional

Menelusuri Jejak 8 Figur Bangsa yang Mengabdikan Diri sebagai Guru dan Pendidik, termasuk tokoh penting seperti KH Hasyim Asy’ari dan Tan Malaka.

Published

on

Semarang (usmnews) dikutip dari detik.com Peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 November bukan sekadar momentum untuk mengapresiasi guru-guru yang berdiri di depan kelas masa kini. Lebih jauh dari itu, tanggal ini menjadi pengingat sejarah bahwa fondasi kemerdekaan Indonesia sejatinya dibangun di atas meja-meja pengajaran dan diskusi intelektual.

Sejarah mencatat bahwa perlawanan terhadap kolonialisme tidak melulu melalui senjata dan diplomasi politik. Banyak pahlawan nasional yang menyadari bahwa musuh terbesar bangsa bukanlah sekadar tentara asing, melainkan kebodohan. Oleh karena itu, mereka mendedikasikan diri untuk terjun langsung menjadi pendidik, membuka cakrawala rakyat pribumi yang kala itu terpasung akses pendidikannya. Mereka mengajarkan ilmu modern, bahasa, hingga agama sebagai bekal harga diri bangsa.

Berikut adalah ulasan mendalam mengenai delapan tokoh besar bangsa yang pernah mengabdikan hidupnya sebagai seorang guru:

  1. Ki Hadjar Dewantara: Sang Pelopor Pendidikan Humanis
    Mustahil membicarakan pendidikan Indonesia tanpa menyebut nama Ki Hadjar Dewantara. Terlahir sebagai bangsawan dengan nama Soewardi Soerjaningrat, ia memiliki privilese mengenyam pendidikan elite di Europeesche Lagere School (ELS) hingga STOVIA. Namun, takdir dan masalah kesehatan membuatnya tidak menuntaskan sekolah kedokteran tersebut.

Justru dari kegagalan itu, lahirlah visi besar. Ia menanggalkan gelar kebangsawanannya agar lebih dekat dengan rakyat dan mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa pada tahun 1922. Sebagai guru, Ki Hadjar mendobrak metode pendidikan kolonial yang kaku dan penuh sanksi. Ia memperkenalkan konsep pendidikan yang memanusiakan manusia dengan semboyan legendaris Tut Wuri Handayani. Di Taman Siswa, ia menanamkan benih nasionalisme dan kemandirian, mengajarkan bahwa pendidikan adalah kunci menuju kemerdekaan jiwa dan raga.

  1. R.A. Kartini: Nyala Api Emansipasi dari Jepara
    Raden Ajeng Kartini adalah simbol perlawanan terhadap kejumudan tradisi yang meminggirkan perempuan. Rasa gelisahnya timbul melihat diskriminasi gender yang menutup akses pendidikan bagi kaum hawa. Beruntung, kemampuan bahasa Belanda yang ia pelajari di ELS menjadi jendela baginya untuk melihat dunia luar melalui korespondensi dengan sahabat-sahabat penanya di Eropa.

Tidak ingin pintar sendiri, Kartini mengubah rumahnya menjadi ruang kelas. Ia merintis sebuah sekolah kecil yang mengajarkan baca-tulis, kerajinan tangan, budi pekerti, dan keterampilan praktis seperti memasak kepada perempuan di sekitarnya. Kartini adalah guru yang mengajarkan bahwa perempuan memiliki hak setara untuk berdaya dan berkarya.

  1. KH Hasyim Asy’ari: Mahaguru Pesantren dan Benteng Agama
    Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini adalah figur sentral dalam pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Keilmuan KH Hasyim Asy’ari ditempa tidak hanya di tanah air, tetapi hingga ke jantung kota suci Mekkah dan Madinah. Bahkan, kapasitas keilmuannya diakui dunia hingga ia sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram.

Sekembalinya ke tanah air, ia mendirikan Pesantren Tebuireng pada 1899. Sebagai guru dan kiai, ia tidak hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi juga menanamkan semangat cinta tanah air (hubbul wathon minal iman). Puncak dari pengajarannya adalah lahirnya Resolusi Jihad 1945, yang membuktikan bahwa santri dididik tidak hanya untuk berzikir, tetapi juga siap mati syahid mempertahankan kemerdekaan.

  1. KH Ahmad Dahlan: Sang Pembaharu Pendidikan Islam
    KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai sosok yang haus ilmu. Ia berguru kepada belasan ulama besar, mulai dari ayahnya sendiri hingga para syekh di Tanah Suci. Visinya yang progresif membuatnya berani mengajar agama Islam di sekolah-sekolah milik Belanda seperti Kweekschool (Sekolah Guru) dan OSVIA.

Dedikasinya sebagai guru terlihat jelas ketika ia merintis sekolah modern di teras rumahnya sendiri. Dengan fasilitas seadanya—papan tulis, kapur, dan meja kursi yang ia siapkan sendiri—Ahmad Dahlan memadukan kurikulum agama dengan ilmu pengetahuan umum Barat. Meski awalnya hanya diikuti 8 murid dan mendapat tentangan masyarakat, kegigihannya berbuah manis. Sekolah sederhananya berkembang pesat menjadi cikal bakal ribuan sekolah Muhammadiyah yang kini tersebar di seluruh Indonesia.

  1. Jenderal Sudirman: Dari Guru SD Menjadi Panglima Besar
    Banyak yang mengenal Jenderal Sudirman sebagai ahli strategi perang gerilya, namun sedikit yang tahu bahwa kariernya bermula sebagai guru SD. Meski hanya lulusan MULO (setara SMP) tanpa ijazah guru resmi, Sudirman memiliki dedikasi luar biasa. Ia “belajar untuk mengajar” dengan mengambil les privat demi menyempurnakan kompetensinya.

Ia kemudian mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Di depan kelas, Sudirman bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai moral melalui kisah-kisah wayang dan keteladanan para rasul. Karismanya sebagai pendidik begitu kuat hingga ia diangkat menjadi kepala sekolah. Disiplin dan kepemimpinan yang ia asah di sekolah inilah yang kelak menjadi bekal utamanya memimpin tentara Indonesia.

  1. Ir. Soekarno: Insinyur yang Mengajar Sejarah
    Presiden pertama RI ini adalah seorang insinyur teknik sipil lulusan Technische Hoogeschool (kini ITB). Namun, panggilan pergerakan membawanya ke dunia pendidikan. Atas tawaran sahabatnya, Douwes Dekker, Soekarno menjadi guru di Ksatrian Institut, Bandung.

Menariknya, Bung Karno tidak mengajar teknik, melainkan Ilmu Pasti dan Sejarah. Bagi Soekarno, ruang kelas adalah podium mini. Saat mengajar sejarah, ia tidak sekadar menyampaikan hafalan tahun dan peristiwa, melainkan membakar semangat murid-muridnya dengan narasi tentang kejayaan nusantara dan pentingnya melawan penindasan. Ia mendidik muridnya untuk berpikir kritis dan sadar sejarah.

  1. H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Bangsa di Rumah Peneleh
    Haji Oemar Said Tjokroaminoto layak dijuluki sebagai “Guru Bangsa” dalam arti yang sebenar-benarnya. Rumah kosnya di Gang Peneleh, Surabaya, menjadi kawah candradimuka bagi para pendiri bangsa. Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, hingga Kartosuwiryo adalah “murid-murid” yang pernah menimba ilmu darinya.

Tjokroaminoto, yang merupakan lulusan OSVIA, memegang teguh prinsip bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih oleh bangsa yang terdidik. Ia tidak mengajar di kelas formal, tetapi melalui diskusi-diskusi intelektual yang tajam di rumahnya. Ia menanamkan benih ideologi, keberanian berpidato, dan strategi organisasi kepada para pemuda yang kelak memilih jalan perjuangan berbeda-beda tersebut.

  1. Tan Malaka: Pendidik Kaum Terpinggirkan
    Tan Malaka, yang sering disebut sebagai Bapak Republik, memiliki latar belakang pendidikan guru yang kuat. Ia lulus dari Kweekschool di Bukittinggi dan melanjutkan studi di Belanda. Wawasannya yang luas tentang dunia tidak membuatnya elitis.

Sepulangnya ke Indonesia, Tan Malaka memilih jalan sunyi dengan menjadi guru bagi anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur. Di sana, ia melihat langsung penderitaan rakyat kecil. Sebagai guru, ia tidak hanya mengajarkan calistung, tetapi juga memberikan kesadaran akan harga diri dan ketidakadilan yang terjadi. Pengalamannya mengajar kaum proletar inilah yang mempertajam pena dan pemikirannya dalam melawan kolonialisme melalui tulisan-tulisan revolusionernya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *