Connect with us

Nasional

Menegakkan Supremasi Hukum: Peringatan Keras DPR Terkait Aksi Penutupan Sepihak oleh Masyarakat

Published

on

Semarang (usmnews) – Dikutip dari Kompas.com Dalam sebuah pernyataan tegas yang menyentuh fundamental tata kelola negara hukum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Maruli Siahaan, menyoroti fenomena sosial yang kian meresahkan: aksi main hakim sendiri berupa penutupan paksa tempat usaha atau fasilitas tertentu oleh kelompok masyarakat. Artikel yang diterbitkan Kompas.com pada Kamis, 11 Desember 2025 ini, menggarisbawahi poin krusial bahwa masyarakat sipil, dalam kapasitas apa pun, tidak memiliki hak konstitusional maupun legal untuk melakukan eksekusi penutupan atau penyegelan secara sepihak.

Pemisahan Wewenang: Siapa yang Berhak?

Maruli Siahaan menekankan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan atau negara yang diatur oleh tekanan massa (mob rule). Dalam konstruksi hukum tata negara, wewenang untuk menutup, menyegel, atau mencabut izin operasional sebuah bangunan—baik itu tempat usaha, tempat ibadah, maupun fasilitas umum—berada mutlak di tangan pemerintah dan lembaga peradilan.

Otoritas tersebut melekat pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai penegak peraturan daerah, Kepolisian untuk aspek pidana, atau dinas terkait yang menerbitkan perizinan. Ketika kelompok masyarakat mengambil alih peran ini dengan melakukan sweeping atau penutupan paksa, mereka sejatinya sedang melangkahi wewenang negara dan melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. Maruli mengingatkan bahwa ketidaksukaan atau keberatan masyarakat terhadap suatu aktivitas tidak serta-merta memberikan mereka tiket emas untuk bertindak sebagai “polisi” dan “hakim” sekaligus.

Bahaya Preseden Main Hakim Sendiri

Pernyataan Maruli ini menyiratkan kekhawatiran mendalam terhadap potensi anarki. Jika pembiaran terhadap aksi penutupan oleh ormas atau kelompok warga terus terjadi, hal ini akan menciptakan preseden buruk bagi iklim demokrasi dan kepastian hukum di Indonesia. Bayangkan jika setiap kelompok yang merasa tersinggung atau tidak setuju dengan kelompok lain diperbolehkan melakukan penutupan paksa; maka stabilitas nasional akan terganggu, iklim investasi akan hancur, dan kerukunan sosial akan terkoyak.

Mekanisme yang Benar: Melapor, Bukan Menindak

Lebih lanjut, artikel ini menguraikan bahwa posisi masyarakat dalam hal ini adalah sebagai pengawas, bukan eksekutor. Hak yang dimiliki masyarakat adalah hak untuk melapor, mengajukan keberatan, dan memberikan bukti-bukti pelanggaran kepada pihak berwenang. Jika ada tempat yang diduga melanggar aturan, salurannya adalah melalui laporan resmi ke aparat penegak hukum atau pemerintah daerah, bukan dengan mengerahkan massa untuk memasang gembok atau spanduk penolakan.

Kesimpulan

Peringatan dari Maruli Siahaan ini merupakan ajakan untuk kembali pada ketertiban sipil. Penegakan aturan tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar aturan lain. Pemerintah daerah dan aparat kepolisian juga didesak untuk bertindak tegas dan tidak tunduk pada tekanan massa, guna memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi panglima di negeri ini, bukan suara yang paling keras berteriak.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *