Blog
Menavigasi Labirin Eksistensi: Memahami Absurditas di Balik Pilihan Masa Depan
Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompasiana.com Dalam sebuah narasi kontemplatif yang dipublikasikan di Kompasiana, Hamdali Anton mengajak kita untuk merenungkan kembali hakikat dari setiap keputusan yang kita buat. Artikel tersebut menyoroti sebuah fenomena mental yang sering dialami manusia modern: perasaan terjebak dalam ruang kosong antara keinginan pribadi, ekspektasi sosial, dan ketidakpastian masa depan. Penulis menggunakan istilah “absurditas” untuk menggambarkan betapa seringnya manusia berjuang keras merencanakan sesuatu yang secara fundamental berada di luar kendali mereka.
Beban Masa Depan: Antara Harapan dan Kecemasan
Inti dari tulisan tersebut adalah bagaimana “masa depan” sering kali berubah dari sebuah harapan menjadi sebuah beban atau belenggu. Manusia cenderung hidup dalam bayang-bayang hari esok, sehingga kehilangan pijakan pada realitas hari ini. Pilihan-pilihan hidup—seperti karier, pendidikan, atau hubungan—sering kali diambil bukan berdasarkan kebahagiaan saat ini, melainkan berdasarkan ketakutan akan kegagalan di masa depan yang belum tentu terjadi.
Ketidakpastian ini menciptakan sebuah paradoks. Semakin banyak pilihan yang tersedia di hadapan kita, semakin besar pula kecemasan yang muncul. Kita takut salah melangkah, takut memilih jalur yang kurang “produktif” menurut standar umum, sehingga akhirnya kita terjebak dalam kelumpuhan analisis (analysis paralysis).
Kaitan dengan Filosofi Absurdisme
Pemikiran Anton dalam artikel ini seolah beresonansi dengan gagasan Albert Camus mengenai mitos Sisifus. Dalam filosofi absurdisme, manusia digambarkan seperti Sisifus yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu berguling kembali ke bawah, dan ia harus melakukannya berulang kali.
Dalam konteks pilihan masa depan, kita sering merasa bahwa setiap pilihan yang kita ambil adalah upaya mendorong batu tersebut. Kita berharap mencapai puncak (kesuksesan/kebahagiaan), namun sering kali setelah mencapainya, muncul kekosongan baru atau tantangan baru yang memaksa kita mulai dari nol. Absurditas muncul ketika manusia mencari makna absolut dalam dunia yang pada dasarnya tidak peduli atau tidak memberikan jawaban pasti.
Realitas yang Terfragmentasi
Penulis juga menyentuh aspek bagaimana lingkungan sosial memperparah absurditas ini. Kita dipaksa untuk memilih “masa depan” yang seragam: stabilitas finansial, status sosial, dan pencapaian material. Ketika seseorang mencoba memilih jalan yang berbeda, mereka sering dianggap tidak logis atau “absurd” oleh lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak individu menjalani hidup yang terasa asing bagi diri mereka sendiri—sebuah bentuk alienasi eksistensial.
Kesimpulan: Menemukan Makna di Tengah Ketidakpastian
Pesan mendalam dari artikel ini bukanlah sebuah ajakan untuk menjadi pesimis, melainkan sebuah seruan untuk penerimaan. Hamdali Anton seolah menyiratkan bahwa pilihan masa depan akan selalu terasa absurd jika kita terus mencari kepastian absolut.
Cara terbaik untuk menghadapi absurditas tersebut adalah dengan:
1. Menyadari Keterbatasan: Mengakui bahwa kita tidak bisa mengendalikan semua hasil dari pilihan kita.
2. Menghargai Proses: Fokus pada tindakan saat ini daripada terus-menerus terobsesi pada hasil akhir yang masih bersifat spekulatif.
3. Menciptakan Makna Subjektif: Jika dunia tidak memberikan makna, maka manusialah yang harus menciptakan maknanya sendiri melalui keberanian untuk memilih, meski pilihan itu tampak absurd bagi orang lain.
Masa depan mungkin tetap menjadi misteri yang membingungkan, namun dengan menerima absurditas tersebut, kita justru mendapatkan kebebasan untuk menjalani hidup tanpa beban ekspektasi yang berlebihan.