Business
Menanti Ledakan Harga CPO: Dari Stagnansi Menuju 5.500 Ringgit
Semarang(Usmnews)– Dikutip dari market.bisnis.com Pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di pasar global saat ini menunjukkan fase stagnansi setelah sempat mengalami reli kenaikan selama tiga sesi perdagangan berturut-turut. Berdasarkan data dari Bursa Malaysia Derivatives, kontrak pengiriman untuk bulan Februari terpantau stabil di level 4.119 ringgit per ton pada penutupan sesi siang, Senin (1/12/2025). Stabilitas harga ini terjadi di tengah tren penurunan harga yang cukup signifikan sejak awal tahun (year-to-date), di mana nilai CPO telah terkoreksi sebesar 7,4%. Fenomena serupa juga terlihat pada komoditas substitusi, seperti minyak kedelai di bursa Chicago, yang mengalami sedikit pelemahan.
Faktor Penekan: Pasokan Melimpah di MalaysiaDavid Ng, seorang pedagang senior dari IcebergX Sdn., menyoroti bahwa faktor fundamental utama yang menahan laju kenaikan harga saat ini adalah tingginya tingkat persediaan di Malaysia. Sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia, stok yang melimpah di Malaysia menciptakan sentimen bearish yang membatasi ruang gerak harga untuk naik lebih tinggi.
Meskipun saat ini terdapat kekhawatiran mengenai gangguan cuaca—mengingat beberapa wilayah di Malaysia sedang dilanda hujan deras dan banjir yang cukup luas—David Ng menilai bahwa pasar masih bersikap hati-hati. Ia berpendapat bahwa masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah kondisi cuaca ekstrem ini akan berdampak signifikan terhadap volume produksi kelapa sawit dalam waktu dekat.
Proyeksi Rebound: Sinyal Bullish dari AnalisBerseberangan dengan sentimen jangka pendek tersebut, Dorab Mistry, analis senior dari Godrej International Ltd., memberikan pandangan yang jauh lebih optimis.
Mistry menilai bahwa tekanan harga yang terjadi saat ini justru menempatkan pasar minyak nabati global dalam kondisi oversold (jenuh jual). Secara historis, kondisi ini sering kali menjadi indikator awal dari pembalikan arah tren menuju kenaikan harga yang signifikan.Mistry memprediksi bahwa titik balik harga akan segera terjadi seiring dengan siklus penurunan produksi alami yang biasanya terjadi pada akhir tahun. Ia memproyeksikan periode Januari hingga Maret akan menjadi fase yang sangat bullish bagi pasar sawit. Optimisme ini didasarkan pada keyakinan bahwa harga CPO berpotensi melonjak hingga menyentuh level 5.500 ringgit per ton.
Peran Vital Kebijakan IndonesiaKunci utama dari potensi lonjakan harga ini, menurut Mistry, terletak pada kebijakan strategis Indonesia. Ada dua faktor domestik Indonesia yang dianggap sebagai “kartu As” bagi pergerakan harga global:
Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation): Jika pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan penyesuaian atau pengetatan terhadap aturan DMO guna membatasi ekspor demi mengamankan pasokan dalam negeri, hal ini akan secara otomatis memperketat suplai global dan memicu lonjakan harga berjangka.
Implementasi Biodiesel B50: Rencana ambisius Indonesia untuk menerapkan mandatori biodiesel B50 akan menyerap pasokan CPO domestik dalam jumlah besar untuk sektor energi. Hal ini akan mengurangi ketersediaan CPO untuk pasar ekspor, memberikan dukungan fundamental yang kuat bagi kenaikan harga.
Prospek Jangka Panjang dan Kompetisi Minyak Nabati Mistry juga menyoroti bahwa mulai saat ini, kebijakan biodiesel Amerika Serikat akan menjadi variabel harga terbesar yang perlu diperhatikan. Ia memperingatkan bahwa pasokan untuk tahun 2026 terlihat tidak terlalu nyaman, dengan faktor iklim (disebutkan sebagai Elanemia dalam konteks prediksi cuaca) yang berpotensi mendukung prospek bullish.
Di sisi lain, persaingan dengan minyak nabati lain, khususnya minyak bunga matahari, diperkirakan baru akan kembali kompetitif pada pertengahan 2026. Namun, Mistry mencatat bahwa hal itu hanya akan terjadi setelah minyak bunga matahari kehilangan pangsa pasar yang substansial, terutama di pasar utama seperti India.