Connect with us

Business

Memperkuat Ekonomi Sirkular: Dua Pendekatan Pengembangan TPS 3R

Published

on

Jakarta (usmnews) – Dikutip dari kompas.com Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) saat ini diakui sebagai garda terdepan dalam mewujudkan penerapan konsep ekonomi sirkular pada level komunitas. Peran fasilitas ini jauh melampaui fungsi pengurang beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Keberadaannya membuktikan secara nyata bahwa sampah, ketika dikelola dengan benar, dapat menjadi aset bernilai ekonomi.

Nilai tambah ini mencakup penciptaan lapangan kerja baru, kemampuan untuk membiayai operasional secara mandiri, hingga bertindak sebagai motor penggerak perekonomian lokal.

​Menurut World Wildlife Fund for Nature (WWF Indonesia), pengembangan fasilitas penting ini umumnya dilaksanakan melalui dua cara pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) dan top-down (dari atas ke bawah).

Pendekatan Bottom-Up: Mandiri dari Inisiatif Masyarakat
​Pendekatan bottom-up murni lahir dari inisiatif dan kesadaran kolektif masyarakat itu sendiri. Ketika warga lokal menyadari pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan, mereka mengajukan permohonan pembangunan TPS 3R kepada pemerintah daerah. Setelah permohonan tersebut disetujui, fasilitas pengelolaan sampah diserahkan dan dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang dibentuk secara resmi melalui Surat Keputusan (SK) Lurah setempat.

​Dalam sistem yang digerakkan oleh masyarakat ini, TPS 3R berhasil menciptakan siklus ekonomi sirkular yang sepenuhnya mandiri. Sampah organik diolah menjadi produk yang memiliki nilai jual, seperti kompos atau pakan untuk maggot (belatung lalat Black Soldier Fly), sementara sampah anorganik dipilah secara cermat dan dijual kembali ke pengepul. Pendapatan yang dihasilkan dari penjualan material daur ulang dan produk olahan inilah yang menjadi sumber pembiayaan utama untuk seluruh kegiatan operasional TPS 3R.

WWF Indonesia menyoroti bahwa di beberapa wilayah, sistem bottom-up yang kuat bahkan telah berevolusi menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang pada akhirnya semakin memperkuat kemandirian dan ekonomi desa tersebut.

​Pendekatan Top-Down: Pelayanan Publik oleh Pemerintah
​Di sisi lain, pendekatan top-down berasal dari program atau kebijakan yang diinisiasi langsung oleh pihak pemerintah. Dalam skema ini, TPS 3R dibangun dan dikelola secara langsung oleh instansi terkait, contohnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Walaupun bersifat lebih terstruktur dan dikelola oleh aparatur pemerintah, partisipasi aktif dari masyarakat tetap krusial dan diperlukan.

​Peran utama masyarakat dalam sistem top-down adalah melakukan pemilahan sampah wajib dari tingkat rumah tangga dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan menabung di bank sampah. Sampah yang tidak tertangani di rumah tangga kemudian dikirim ke TPS 3R untuk melalui proses pengolahan lebih lanjut. Sebagai contoh implementasi pendekatan ini, WWF Indonesia menyebutkan kasus TPS 3R Rawa Badak Utara di Jakarta Utara, yang dikelola langsung oleh DLH DKI Jakarta.

​Hasil dari pengelolaan sampah di fasilitas top-down ini kemudian diadministrasikan melalui Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Seluruh manfaat pengelolaan akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan kualitas layanan dan fasilitas lingkungan. Material yang masih dapat didaur ulang dijual kepada pengepul, sedangkan sampah yang sudah tidak bisa didaur ulang atau yang disebut residu akan dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku di fasilitas Refuse-Derived Fuel (RDF) Rorotan.

​Fokus Utama: Pelayanan dan Keberlanjutan
​WWF Indonesia secara tegas menyatakan bahwa esensi pengelolaan sampah adalah bagian integral dari pelayanan publik, dan bukanlah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan semata (profit-oriented). Upaya ini berfokus pada tujuan utama: menjamin kebersihan, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan.

​Untuk memastikan sistem TPS 3R dapat beroperasi secara jangka panjang dan berkelanjutan, WWF Indonesia menekankan pentingnya beberapa faktor kunci. Faktor-faktor tersebut meliputi edukasi berkelanjutan mengenai upaya pengurangan volume sampah dari sumbernya, pelaksanaan pelatihan yang memadai tentang pengolahan sampah organik, serta penguatan kelembagaan di tingkat lokal.

Upaya kolektif ini adalah kunci agar sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas dapat terus berjalan efektif dan memberikan dampak positif secara berkesinambungan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *