Anak-anak
Membangun Jembatan Rasa: Strategi Orangtua Saat Anak Kehilangan Percaya Diri
Semarang (usmnews) – Dikutip dari kompasiana.com, Dalam dinamika tumbuh kembang anak, sering kali muncul fase-fase di mana mereka tampak baik-baik saja di permukaan, namun menyimpan kegelisahan mendalam di baliknya.
Anak mungkin tetap tersenyum dan menjalani rutinitas harian seperti biasa, tetapi sebagai orangtua, naluri kita sering menangkap sinyal bahwa ada beban emosional yang belum terungkap.
Di momen-momen inilah, anak sebenarnya sedang bergulat dengan rasa tidak percaya diri atau kecemasan yang mereka sembunyikan rapat-rapat, mungkin karena merasa canggung atau takut untuk bercerita.
Artikel ini menekankan bahwa ketika fase tersebut datang, peran orangtua harus bergeser dari sekadar figur otoritas pemberi nasihat menjadi pendengar yang empatik. Kunci utama untuk membuka “pintu hati” anak adalah dengan menyamakan frekuensi rasa.
Ini bukan berarti orangtua harus mengubah kepribadian mereka sepenuhnya menjadi seperti anak, melainkan menemukan satu atau dua titik temu yang bisa menjadi jembatan komunikasi.
Setiap anak memiliki keunikan dan bahasanya sendiri; memahami apa yang membuat mereka nyaman adalah langkah awal yang krusial.
Salah satu metode paling efektif untuk menyatukan frekuensi ini adalah dengan masuk ke dalam dunia mereka melalui hobi atau kesukaan.
Jika anak gemar berolahraga, momen berlari pagi atau bersepeda bersama bisa menjadi waktu berkualitas di mana obrolan santai mengalir tanpa paksaan. Begitu pula jika anak adalah seorang pembaca, menyediakan buku yang sesuai dengan minatnya atau berdiskusi tentang cerita yang ia baca dapat menciptakan ikatan emosional.
Aktivitas-aktivitas sederhana ini secara perlahan membangun rasa aman (psychological safety) bagi anak. Ketika anak merasa aman dan dimengerti, tembok pertahanan mereka akan runtuh, dan di sanalah mereka mulai berani mengungkapkan ketidakpercayaan diri atau masalah yang sedang dihadapi.
Namun, tantangan terbesar sering kali muncul dari perbedaan generasi dan cara pandang. Orangtua dan anak hidup di zaman yang berbeda dengan tantangan yang tak sama.
Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan tidak bisa dipukul rata untuk semua anak. Orangtua dituntut untuk fleksibel dan peka, mengamati apakah anak lebih nyaman didekati secara verbal langsung atau melalui aktivitas bersama.
Dalam kasus tertentu, media tulisan seperti blog—seperti yang dicontohkan dalam artikel asli—bisa menjadi ruang aman bagi anak introvert untuk berekspresi. Orangtua yang bijak akan menghargai ruang tersebut dan menggunakannya sebagai sarana untuk lebih memahami isi hati buah hatinya.Pada akhirnya, mengembalikan kepercayaan diri anak bukanlah proses instan.
Ia membutuhkan kesabaran, kehadiran yang tulus, dan kesediaan orangtua untuk menurunkan ego demi “mendengar” suara anak yang tak terucap.
Dengan membangun jembatan rasa yang kuat, orangtua tidak hanya membantu anak mengatasi krisis kepercayaan diri saat ini, tetapi juga membekali mereka dengan fondasi emosional yang kokoh untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan.