Education
Memahami Self-Handicapping: Strategi Keliru yang Justru Merugikan
Semarang (usmnews) – Dikutip dari detik.com Pernahkah Anda melihat seseorang yang sengaja tidak belajar sebelum ujian penting, atau seseorang yang menunda-nunda pekerjaan (prokrastinasi) hingga menit terakhir? Sering kali, kita mengira itu hanyalah kemalasan biasa. Namun, menurut artikel yang dilansir dari Detik Edu, perilaku tersebut bisa jadi merupakan bentuk dari self-handicapping—sebuah fenomena psikologis di mana seseorang secara aktif menciptakan hambatan bagi dirinya sendiri demi melindungi citra diri di mata orang lain. Apa Itu Self-Handicapping? Secara sederhana, self-handicapping adalah strategi pertahanan diri. Ini adalah upaya menciptakan alasan atau motif “pembenaran” sebelum melakukan sesuatu, terutama ketika seseorang merasa ada potensi kegagalan. Tujuannya sangat spesifik: manipulasi persepsi.Jika gagal: Individu tersebut memiliki alasan yang masuk akal (“Saya gagal karena saya tidak belajar/sakit/bergadang,” bukan karena “Saya tidak mampu”). Jika berhasil: Individu tersebut akan terlihat jenius atau berbakat karena mampu sukses tanpa usaha maksimal.
Intinya, pelaku self-handicapping ingin menghindari penilaian bahwa mereka “lemah” atau “bodoh” saat mengalami kegagalan.Bukan Impulsif, Melainkan Strategi Sadar, berdasarkan pandangan para ahli dari Universitas Stanford—Xiang, Gershman, dan Tobias Gerstenberg—perilaku ini bukanlah tindakan impulsif atau ketidaksengajaan. Sebaliknya, self-handicapping adalah strategi yang sepenuhnya sadar. Sebelum bertindak, pelakunya telah memikirkan bagaimana orang lain akan menilai mereka. Karena takut akan penghakiman sosial tersebut, mereka dengan sengaja memunculkan hambatan di awal (seperti sengaja kurang tidur atau tidak berlatih) sebagai tameng pelindung harga diri. Studi Kasus: Eksperimen “Kuis TV”Artikel tersebut menyoroti bahwa penelitian terdahulu mengenai topik ini biasanya hanya mengandalkan kuesioner kepribadian. Namun, tim peneliti yang dipimpin oleh Xiang melakukan pendekatan berbeda untuk membuktikan bagaimana strategi ini bekerja dalam situasi nyata.
Mereka merancang eksperimen yang meniru suasana kompetitif sebuah acara kuis di TV. Dalam simulasi ini, peserta dihadapkan pada dua tingkat kesulitan soal. Temuan Pertama: Peserta cenderung melakukan self-handicapping (memilih untuk tidak berlatih) ketika dihadapkan pada soal yang lebih sulit. Temuan Kedua: Perilaku ini meningkat drastis ketika peserta tahu bahwa hasil kinerja mereka akan dilihat oleh publik atau orang lain.Ini membuktikan bahwa tekanan sosial dan ketakutan akan kegagalan di depan umum adalah pemicu utama seseorang menyabotase dirinya sendiri. Paradoks: Berniat Menjaga Citra, Malah Dinilai BurukBagian paling menarik—sekaligus peringatan keras—dari artikel ini adalah respons dari “penonton” atau pengamat. Meskipun pelaku melakukan self-handicapping agar tidak terlihat bodoh saat gagal, strategi ini justru menjadi bumerang.
Dalam eksperimen tersebut, para pengamat ternyata cukup cerdas untuk melihat pola tersebut. Hasil penilaian menunjukkan:Pengamat memberikan penilaian yang lebih buruk kepada mereka yang melakukan self-handicapping (sengaja tidak berlatih), terlepas dari apakah mereka berhasil atau gagal. Sebaliknya, pengamat lebih menghargai orang yang berusaha keras (banyak berlatih), bahkan jika orang tersebut akhirnya gagal mengerjakan soal. Artinya, masyarakat sebenarnya lebih menghargai usaha dan kejujuran daripada bakat yang dicitrakan melalui alasan-alasan palsu.Implikasi bagi Pendidikan. Studi ini memberikan wawasan penting bagi dunia pendidikan. Sekadar mendorong siswa untuk “harus sukses” atau memberikan motivasi standar ternyata tidak cukup untuk menghentikan perilaku self-handicapping.
Bahkan, tekanan untuk selalu terlihat kompeten justru bisa memicu siswa, yang merasa tidak yakin dengan kemampuannya, untuk mencari jalan pintas dengan menyabotase proses belajar mereka sendiri agar punya alasan jika nilai mereka jelek. Self-handicapping adalah jebakan psikologis. Niat hati ingin menyelamatkan muka, tetapi yang terjadi justru merusak reputasi dan menghambat potensi diri sendiri. Pesan utamanya jelas: Berani mencoba dan gagal secara terhormat jauh lebih baik di mata orang lain (dan bagi perkembangan diri sendiri) daripada menciptakan drama hambatan yang dibuat-buat.