Nasional
Mekanisme Konstitusional Pembatalan Aturan: 3 Pihak Penentu Nasib Perpol 10

Semarang (usmnews) – Dikutip dari KOMPAS.com, Di tengah hangatnya polemik publik mengenai pemberlakuan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 yang baru-baru ini menyita perhatian nasional, Ketua Komisi Reformasi Polri memberikan pencerahan hukum yang krusial.
Dalam keterangannya pada Kamis, 18 Desember 2025, beliau memaparkan secara rinci jalur-jalur legal yang tersedia untuk membatalkan atau merevisi aturan tersebut. Penjelasan ini menjadi sangat penting untuk meredam spekulasi liar dan mengarahkan aspirasi masyarakat ke saluran yang konstitusional.
Ketua Komisi Reformasi Polri menegaskan bahwa dalam sistem hukum tata negara Indonesia, sebuah peraturan yang telah diundangkan tidak bisa serta-merta dianggap final jika bertentangan dengan keadilan atau aturan yang lebih tinggi. Ia menguraikan ada tiga pihak kunci yang memiliki otoritas sah untuk membatalkan Perpol 10, yaitu:
1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)
Pihak pertama dan yang paling memiliki akses langsung untuk membatalkan aturan ini adalah penerbit aturan itu sendiri, yakni Kapolri. Mekanisme ini disebut sebagai legislative review atau evaluasi internal.
Diskresi Pimpinan: Kapolri memiliki kewenangan penuh untuk mencabut atau merevisi Perpol 10 jika dalam pelaksanaannya ditemukan cacat substansi, resistensi publik yang masif, atau ketidakefektifan di lapangan.
Langkah Tercepat: Menurut Ketua Komisi, ini adalah jalur tercepat dan paling efisien. Jika Kapolri mendengar masukan dari masyarakat atau rekomendasi dari Komisi Reformasi Polri dan memutuskan untuk menarik aturan tersebut, maka Perpol 10 bisa batal tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang.
2. Mahkamah Agung (MA)
Pihak kedua adalah lembaga yudikatif tertinggi, Mahkamah Agung, melalui mekanisme judicial review (hak uji materi).
Uji Materiil: Jika masyarakat sipil, akademisi, atau pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan, MA berwenang menguji apakah Perpol 10 bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi (seperti UU Polri atau UUD 1945).

Keputusan Mengikat: Jika Majelis Hakim Agung memutuskan bahwa Perpol tersebut cacat hukum, maka aturan tersebut secara otomatis batal demi hukum dan tidak lagi memiliki kekuatan mengikat. Ini adalah jalur hukum formal yang disediakan negara bagi warga yang keberatan dengan regulasi di bawah undang-undang.
3. Presiden Republik Indonesia
Pihak ketiga adalah Presiden, selaku Kepala Negara sekaligus pimpinan tertinggi eksekutif yang membawahi institusi Polri.
Hierarki Komando: Dalam struktur ketatanegaraan, Polri berada di bawah Presiden. Oleh karena itu, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memerintahkan Kapolri meninjau ulang atau mencabut sebuah peraturan jika dinilai mengganggu stabilitas nasional, bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, atau mencederai rasa keadilan masyarakat.
Intervensi Eksekutif: Langkah ini biasanya diambil dalam situasi di mana dampak sosial-politik dari sebuah peraturan sudah sangat meluas dan memerlukan penanganan langsung dari kepala pemerintahan.
Edukasi Hukum bagi Publik Pemaparan Ketua Komisi Reformasi Polri ini tidak hanya sekadar informasi teknis, melainkan sebuah edukasi hukum bagi masyarakat. Ia menekankan bahwa kritik terhadap Perpol 10 adalah hal yang sah dalam demokrasi, namun penyelesaiannya harus tetap berpijak pada koridor hukum yang berlaku.
Dengan mengetahui tiga pintu penyelesaian ini, publik didorong untuk mengawal prosesnya, baik melalui advokasi kebijakan kepada Kapolri dan Presiden, maupun melalui gugatan hukum ke Mahkamah Agung.







