Blog
Langkah Berani Australia: Melindungi Generasi Muda dari Jerat Digital dengan Larangan Media Sosial
Semarang (usmnews) – Dikutip dari KOMPAS.com, Pada tanggal 10 Desember 2025, Pemerintah Australia resmi mencatatkan sejarah baru dalam dunia regulasi digital global. Melalui kebijakan yang tegas, Negeri Kanguru ini memberlakukan larangan penggunaan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun.

Langkah ini bukan sekadar aturan administratif semata, melainkan sebuah manuver krusial yang diambil demi menyelamatkan kesehatan mental dan masa depan generasi muda mereka dari cengkeraman algoritma yang sering kali merugikan.
Kebijakan ini, yang dikenal sebagai Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Act, mewajibkan platform raksasa seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan X (sebelumnya Twitter) untuk menutup akses bagi pengguna di bawah umur.
Pemerintah Australia menilai bahwa tanggung jawab menjaga keselamatan anak tidak seharusnya dibebankan sepenuhnya kepada orang tua yang sering kali kewalahan, melainkan harus diemban oleh perusahaan teknologi yang menciptakan sistem tersebut.
Dalam artikel yang dirilis oleh Kompas Lifestyle, kebijakan ini disorot membawa angin segar berupa tujuh dampak positif yang diharapkan dapat memulihkan kualitas hidup remaja.
Pertama, dan yang paling fundamental, adalah membangun kembali relasi nyata yang sehat. Tanpa adanya distraksi dari dunia maya, anak-anak didorong untuk berinteraksi secara tatap muka. Hubungan yang terjalin di dunia nyata terbukti jauh lebih berkualitas dan mampu membangun empati yang sering kali hilang dalam komunikasi berbasis teks atau komentar.
Kedua, kebijakan ini efektif mengurangi tekanan perbandingan sosial. Media sosial dikenal sebagai etalase “kesempurnaan palsu”, di mana remaja sering merasa rendah diri saat membandingkan hidup mereka dengan highlight kehidupan orang lain. Dengan hilangnya akses ini, anak-anak dapat terbebas dari standar hidup yang tidak realistis.
Ketiga, larangan ini bertujuan memulihkan rasa percaya diri. Tanpa adanya validasi semu berupa likes dan comments, anak dapat membangun harga diri mereka berdasarkan pencapaian nyata dan karakter diri, bukan angka di layar ponsel.
Keempat, fokus utama dari kebijakan ini adalah membiarkan anak tumbuh wajar sesuai usianya. Psikolog Ratih, yang dikutip dalam pembahasan ini, menekankan pentingnya anak-anak untuk fokus pada proses pertumbuhan alami mereka tanpa dipaksa dewasa sebelum waktunya oleh paparan informasi digital.
Selain itu, dampak positif lainnya mencakup perlindungan dari konten yang tidak sesuai umur, seperti kekerasan dan pornografi, serta meminimalisir risiko cyberbullying yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi kesehatan mental remaja.
Terakhir, kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan pola hidup sehat, termasuk perbaikan kualitas tidur dan peningkatan fokus belajar yang selama ini terganggu oleh adiksi scrolling tanpa henti.

Langkah Australia ini menjadi preseden penting bagi dunia, mengirimkan pesan kuat bahwa masa kanak-kanak adalah fase berharga yang harus dijaga kemurniannya dari intervensi teknologi yang eksploitatif.


