Lifestyle
Kumpul Kebo Makin Ramai di RI, Terutama di Jakarta

Kumpul kebo menjadi fenomena belakangan ini marak terjadi di Indonesia, di mana pasangan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Kepala Badan Kepegawaian Negara Zudan Arif langsung memecat 8 Aparatur Sipil Negara yang melanggar aturan.
Dan adapun pelanggarannya beragam, mulai dari tidak masuk kerja, penyalahgunaan narkoba, hingga kumpul kebo.
The Conversation melaporkan bahwa pergeseran pandangan tentang relasi dan pernikahan menyebabkan fenomena ini. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.
Mereka memandang fenomena ini sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo’ masih menjadi hal tabu.
Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation ungkap ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk ‘kumpul kebo’ ini bersama pasangan.
Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.
“Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda beberapa saat lalu.
Yulinda mengungkapkan bahwa dari total populasi pasangan kohabitasi, sebanyak 1,9% sedang hamil saat survei berlangsung. Selain itu, 24,3% berusia di bawah 30 tahun, sementara 83,7% hanya menempuh pendidikan hingga SMA atau lebih rendah. Ia juga mencatat bahwa 11,6% dari mereka tidak memiliki pekerjaan, sedangkan 53,5% lainnya bekerja di sektor informal.
Akibat
Yulinda menyebut ‘kumpul kebo’ merugikan perempuan dan anak, terutama secara finansial karena ayah tidak berkewajiban memberi nafkah. Selain itu, minimnya komitmen memicu masalah mental dan konflik, termasuk KDRT. Anak dari kohabitasi rentan mengalami gangguan kesehatan, emosional, dan stigma sosial.
*
*